Konsep Wanprestasi dalam Hukum

Sah! – Wanprestasi adalah dilaksanakannya kewajiban yang tidak tepat pada tenggat masanya ataupun dengan kata lain tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga menyebabkan debitur harus membayar ganti rugi

Pengertian Wanprestasi

Secara Bahasa, kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yakni “wanprestatie” artinya tidak dilaksanakannya sebuah kewajiban atau prestasi dalam suatu perjanjian.

Menurut Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa wanprestasi ialah hilangnya prestasi yang dipunyai atas sebuah kontrak atau perjanjian. Artinya bahwa suatu pihak mendapatkan kewajiban atas kesepakatan dalam perjanjian yang telah dilaksanakan.

Dengan istilah lain adalah terlaksananya janji atas suatu prestasi dan juga tiadanya pelaksanaan terhadap ingkar janji (wanprestasi).

Kelalaian debitur dinilai dari tidak mampunyai untuk memenuhi segala kewajiban atas perjanjian yang telah dilaksanakannya. Lalai yang dimaksud juga dapat diartikan apabila pihak debitur terlambat dalam memenuhi prestasinya.

Tokoh yang lain telah mengemukakan definisi mengenai wanprestasi yaitu J. Satrio. Beliau berpendapat bahwa wanprestasi yaitu kondisi debitur tidak melakukan dengan sebaik- baiknya untuk melaksanakan kewajiban prestasinya.

J. Satrio juga memaparkan pendapatnya bahwa debitur dikatakan ingkar janji kepada kreditur apabila terdapat unsur kesalahan pada individu tersebut.

Dalam kamus hukum, wanprestasi disebut juga istilah kelalaian, kealpaan, cidera janji, serta tidak terlaksananya suatu kewajiban dalam perjanjian.

Berdasar pada Pasal 1234 KUHPerdata berbunyi tiap- tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Perbuatan wanprestasi (ingkar janji) berhubungan erat bersama dengan dilaksanakannya perjanjian. Merujuk pada Pasal 1320 KUHPerdata bahwa suatu individu tidak dapat disebut melakukan perbuatan wanprestasi jikalau subjek hukum tersebut tidak terikat pada ikatan kontraktual.

Janji pada kontrak yang telah dilakukan menyebabkan lahirnya suatu kewajiban. Sebagai individu yang prestasinya tidak dipenuhi bisa memberikan gugata keperdataan.

Hal ini terlihat bahwa perjanjian menimbulkan hak dan / kewajiban kontraktual serta suatu keadaan ketika orang melanggar tidak memenuhi prestasi, hak, dan kewajibannya lah yang dinamakan perbuatan wanprestasi.

Oleh karena itu, wanprestasi (ingkar janji) hanya sebatas kondisi di mana tidak terpenuhinya segala perihal yang ada dalam perjanjian antara kedua belah pihak, bukan mencakup perialku dilanggarnya hak dan kewajiban pada ketentuan perundang- undangan.

Pengertian Perjanjian

Subekti berpendapat bahwa keadaan di mana subjek hukum yang meletakkan janjinya kepada subjek hukum lain setelah itu mereka berjanji untuk melaksanakan suatu prestasi disebut dengan istilah “perjanjian”.

Mariam Darus Badrulzaman memaparkan mengenai wanprestasi. Wanprestasi ialah kondisi munculnya perikatan dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak yang mana pihak pertama berkedudukan sebagai seorang yang wajib menuntaskan prestasi dan pihak kedua ialah yang mempunyai hak atas prestasi tersebut.

Perjanjian antar kedua belah pihak dapat mengakibatkan timbulnya suatu hubungan hukum. Dasar hukum mengenai suatu perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa definisi perjanjian yakni suatu perbuatan sebjek hukum yang saling terikat dengan subjek hukum yang lain.

Ahli hukum yang lain salah satunya Herlien Budjono juga mengemukakan bahwa akibat hukum dapat terjadi atau muncul karena adanya suatu perjanjian. Subjek hukum yang dimaksud di atas ialah manusia.

Dapat disimpulkan perjanjian adalah perbuatan hukum yang dapat menimbulkan perikatan pada kedua subjek hukum dan juga memuat janji agar sanggup melunasi perjanjian- perjanjian dari hasil kesepakatan.

Syarat Sah Perjanjian Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata

Perjanjian dapat dilaksanakan dengan memenuhi empat syarat berdasar pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain:

  1. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Kesepakatan yang dimaksud adalah ketika kedua subjek hukum saling mendapatkan persetujuan terhadap segala perihal dalam suatu perjanjian.

Dasar hukum KUHPerdata Pasal 1321 memuat kata “sepakat” dan dijelaskan bahwa tidak sahnya kesepakatan tersebut ialah adanya unsur khilaf atau karena paksaan.

Kesepakatan tersebut seharusnya berawal dari unsur penawaran dari subjek hukum dan yang lain sebagai pihak yang bersedia menerima tawaran. Syarat tersebut adalah bentuk persyaratan subyektif.

  1. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Kecakapan individu adalah salah satu wujud persyaratan subyektif pada sebuah perjanjian. Cakap adalah keadaan individu terkait kemampuannya untuk berbuat hukum secara individu & wajar.

Landasan hukum yang mengatur hal tersebut telah disampaikan pada Pasal 1330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kecakapan sebenarnya dimiliki oleh seluruh orang tanpa terkecuali.

Namun, hal tersebut dapat bertolak belakang apabila peraturan perundang- undangan memiliki ketentuan aturan yang lain atau dikenal dengan istilah ketidakcakapan pada individu tersebut.

Pasal 1330 KUHPerdata telah diatur tentang subjek hukum yang tidak cakap, yang terdiri dari:

a)   Belum dewasa;

b)   Dalam pengampuan;

c)   Perempuan, yang telah ditentukan oleh undang- undang.

 

  1.     Suatu Hal Tertentu

Persyaratan ini merupakan salah satu syarat obyektif suatu perjanjian. “Hal tertentu” maksudnya adanya objek perjanjian dalam Pasal 1332 dan Pasal 1333. Objek perjanjian terdiri dari:

a)   KUHPerdata Pasal 1332 mengenai barang- barang yang diperdagangkan.

b)   KUHPerdata Pasal 1333 yang memuat jumlah suatu barang tidak tentu tapi tetap bisa dihitung.

 

      4. Suatu Sebab Yang Halal

Syarat ini merupakan persyaratan obyektif pada sebuah perjanjian. KUHPerdata Pasal 1337 menjelaskan tidak adanya larangan terkait substansi perjanjian dengan syarat tidak bersinggungan terhadap nilai susila dan ketertiban umum.

Pasal 1335 KUHPerdata memberi penjelasan terhadap isi perjanjian yang dilakukan tanpa alasan atau pun disebabkan perihal yang dilarang. Hal ini dapat berdampak tidak adanya kekuatan hukum di dalamnya.

Asas adalah suatu dasar yang dijadikan tumpuan untuk mewujudkan sebuah tujuan. Dalam perjanjian yang dilakukan oleh kedua pihak juga terdapat asas- asas penting. Asas tersebut terdiri atas:

  1.   Asas Beritikad Baik

Sebelum diadakan perjanjian antara subjek hukum yang satu dengan yang lain harus berlandaskan atas kepentingan- kepentingan dari setiap individu. Prof Subekti S.H., memandang terkait itikad baik dalam kegiatan suatu pejanjian sangatlah penting mengingat kesepakatan perjanjian didasarkan atas nilai yang patut.

  1. Kebebasan kontrak

KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) telah diatur mengenai ketentuan asas ini. Implementasi dari asas ini ialah setiap individu bebas untuk dapat atau tidak dalam membuat isi pejanjian serta mengerjakan segala hal apa yang sudah dijanjikan. Asas kebebasan kontrak mengakibatkan suatu perjanjian dapat ditulis atau pun dapat  lisan.

  1. Kepastian hukum

Asas ketiga adalah adanya hukum yang pasti. Perjanjian antar subjek hukum harus memiliki hukum yang pasti, maksudnya dijadikan sebagai undang- undang.

  1. Asas Mengikat (Pacta Sunt Servanda)

Artinya setiap perjanjian yang mengandung kesepakatan antarpihak harus bersifat mengikat satu sama lain. Subjek hukum harus sama sama untuk menerima segala risiko atau dampak yang ada setelah saling terikat. Landasan yang menyatakan bahwa sahnya pejanjian adalah seperti halnya dengan Undang- Undang tercantum pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

  1. Persamaan Hukum

Maksudnya tiap subjek hukum antara satu dengan yang lain harus didasarkan pada nilai saling untuk menghormati. Walaupun terdapat perbedaan SARA tidak diperbolehkan untuk menjadi pembeda atau dalam kata lain hak mereka tetap sama di mata hukum. 

Suatu perjanjian yang dilaksanakan juga harus memenuhi berbagai unsur, di antaranya seperti cakapnya subjek hukum (minimal terdiri atas dua orang), terdapat kesepakatan, mempunyai tujuan yang jelas untuk diwujudkannya suatu  prestasinya, serta dilaksanakan menurut wujud dan persyaratan.

 

Demikianlah artikel yang membahas mengenai konsep wanprestasi dalam hukum serta mengenai perjanjian dan syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata.

Sah!- menyediakan menyediakan layanan berupa pengurusan legalitas usaha serta pembuatan izin HAKI termasuk pendaftaran hak cipta. Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha.

Untuk yang hendak mendirikan lembaga/usaha atau mengurus legalitas usaha bisa hubungi WA 0856 2160 034 atau dapat kunjungi laman Sah.co.id

 

Source:

Pasal 1320 KUHPerdata

Cahyadhi Arif. (2022). Implikasi Yuridis Perbuatan Wanprestasi Atas Perjanjian Kerjasama Pembiayaan Dikaitkan Adanya Jaminan Atas Nama Pihak Ketiga. Unissula.

Chartilia Gendis Napinillit M., A. S. C. (2019). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PERJANJIAN PADA PLATFORM LOAN-BASED CROWDFUNDING. Jurnal Privat Law, VII, 2–4.

The post Konsep Wanprestasi dalam Hukum appeared first on Sah! Blog.

SOURCE

Recommended
Lampung Utara | Aesennews.Com | masyarakat Desa Sumbertani tepat nya…