Tolak Ukur Konstitusional Terhadap Hukum Positif Dan Hukum Internasional Terkait Pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Sah! – Tafsir Konstitusional Terhadap UUD 1945 Terkait Pembatasan HAM 

Sistem ketatanegaraan di Indonesia mengalami gelombang perubahan yang mendasar salah satunya termasuk yakni pengaturan tentang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

Hal itu sebagai akibat Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). 

Bahkan dalam amandemen kedua telah melahirkan suatu Bab khusus yakni Bab XA yang memuat 10 pasal khusus terkaut HAM yakni Pasal 28A hingga Pasal 28J. 

Adapun kategori bidang yang mencangkup pasal tersebut meliputi kategori hak sipil, politik, hingga hak sosial, ekonomi, dan budaya. 

Harus dapat dipahami pula bahwa pembrtian hak-hak tersebut juga harus dibarengu dengan kewajiban dan tanggung jawab yang bersifat asasi pula yang harus diikuti oleh semua orang.

Sebagai manusia, setiap orang sejak lahir memiliki hak yang sudah melekat pada dirinya. Hak yang disandang oleh setiap manusia itu tidak dapat dihilangkan oleh negara maupun pemerintah dengan alasan apapun juga. 

Setiap orang dalam kepemilikan haknya dijamin terhadap hak dan kewajiban tersebut yang tidak ditentukan berdasarkan suatu kedudukan.

Wajib juga bagi semua orang untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain dimanapun ia berada secara bersamaan dengan kepemilikan hak-hak asasinya. 

Hak dan kewajiban asasi ini wajib disadari keseimbangannya sebagai ciri penting paradigma dasar bangsa Indonesia mengenai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan hukum positif di Indonesia yang mengatur penetapan dan pembatasan terkait HAM.

Pasal yang menegaskan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang diterapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” 

Dalam hal ini, masing-masing negara berhak mempertimbangkan sendiri sebagai justifikasi dalam hal pembatasan hak yang berbeda-beda ketentuannya. 

Namun, terdapat hal yang seragam dimana pembatasan dalam hak tersebut tidak hanya terjadi saat keadaan darurat saja melainkan juga terjadi dalam keadaan normal. 

Demi melindungi kepentingan negara atau pemerintah, memelihara ketertiban negara, mencegah timbulnya dorongan melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum, dan mencegah kemerosotan moral masyarakat atau publik. 

Setidaknya terdapat 2 hal yang menjadi dasar terjadinya pembatasan terhadap pelaksanaan HAM menurut McGoldrick, yaitu

  1. Kepentingan umum dan kepentingan individu harus tetap seimbang beriringan yang diimplementasikan melalui gagasan pembatasan HAM didasarkan pada adanya pengakuan bahwa sebagian besar HAM tidak bersifat mutlak.
  2. Jangan sampai satu hak dapat dibatasi untuk memberikan ruang bagi terlaksananya hak lainnya. untuk mengatasi konflik antar hak, sebagai contoh hak berekspresi dengan penghormatan atas hak privasi atau juga kebebasan beragama. 

Pembatasan HAM yang seringkali memunculkan perdebatan dari para kalangan ahli adalah terkait persoalan apakah ketentuan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dapat diberlakukan terhadap semua hak yang diatur dalam UUD 1945. 

Dengan mengacu pendapat ahli Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H, ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berisi kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap pasal 28I ayat (1) karena adanya anak kalimat (frasa) “dalam keadaan apapun.”

Dengan adanya frasa tersebut yang mengecualikan hak-hak dalam Pasal 28I ayat (1) dari ketentuan pembatasan, sehingga memberikan kesimpulan bahwa semua HAM yang terkandung dalam UUD 1945 dikunci oleh ketentuan Pasal 28J ayat (2). 

Pandangan berbeda menurut Jimly Asshidiqie pembatasan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) tersebut tidak ditujukan kepada ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, ketentuan Pasal 28J tidak ada hubunganya dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. 

Pasal 28I merupakan Pasal “pamungkas” dan pasal pengulangan terhadap rincian ketentuan Pasal 28A sampai dengan Pasal 28H. 

Artinya, Pasal 28I tersebut merupakan Pasal pengecualian yang tidak boleh mengurangi ketujuh jenis hak asasi manusia dalam keadaan apapun (keadaan darurat sipil, militer, maupun perang).

Undang-undang merupakan salah satu instrumen hukum yang dalam perspektif negara hukum dan demokrasi dipandang memiliki legitimasi yang kuat secara politik, karena proses pembentukannya melibatkan lembaga perwakilan rakyat. 

Dengan begitu, secara konsepsional dapat diimajinasikan bahwa ketika undang-undang itu ditetapkan dan disahkan, maka sejatinya rakyat telah merelakan sebagaian hak untuk dibatasi oleh pemerintah atau negara. 

Tiap negara memiliki penafsiran yang berbeda tentang seberapa jauh negara dapat melakukan pembatasan terhadap hak-hak yang tergolong fundamental. 

Adapun yang menjadi catatan penting adalah bahwa dalam melakukan penakaran konstitusionalitas suatu materi pembatasan, terutama terhadap hak-hak non-derogible rights sebagaimana dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. 

Hal itu harus diimbangi oleh prinsip-prinsip yang berlaku baik dalam HAM nasional maupun HAM internasional. 

Validasi konstitusional dengan mendasarkan argumentasi pada pendekatan original intent-sistematische Pasal 28J ayat (2) saja tentu tidak bisa diterapkan pada semua kasus pengujian pembatasan HAM. 

Dengan kata lain, tidak semua pembatasan HAM yang terkandung dalam undang-undang dapat diartikan sertamerta terlegitimasi oleh tafsir sistematis. 

Sehingga dapat menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan adil berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.

Kunjungi laman berita hukum terpilih yang disajikan melalui website Sah.co.id. Baca berita terbaru lainnya dan kunjungi juga website Sah.co.id atau bisa hubungi WA 0856 2160 034 untuk informasi pengurusan legalitas usaha serta pembuatan izin HAKI termasuk pendaftaran hak cipta. Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha.

 

Source:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Hidayat, Eko. “Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Indonesia.” ASAS 8, no. 2 (2016). 

Arifin, Ridwan, and Lilis Eka Lestari. “Penegakan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonesia Dalam Konteks Implementasi Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 5, no. 2 (2019): 12-25.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 30 – 66.

Asrun, Andi Muhammad. “Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Negara Hukum: Catatan Perjuangan di Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Cita Hukum 4, no. 1 (2016). 

Matompo, Osgar S. “Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif Keadaan Darurat.” Jurnal media hukum 21, no. 1 (2014): 16

Handayani, Y. “Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dan Konstitusi Amerika Serikat”. Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional. (2014)

The post Tolak Ukur Konstitusional Terhadap Hukum Positif Dan Hukum Internasional Terkait Pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia appeared first on Sah! Blog.

SOURCE

Recommended
AESENNEWS.COM - Hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, dan filosofis karena…