Cerpen: Pintu Itu Diketuk

Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Cerpen: Pintu Itu Diketuk

Cerpen: Pintu Itu Diketuk

Oleh: Alfiansyah Bayu Wardhana

JurnalPost.com – Pada malam yang berarak. Awan menutup cahaya bintang. Bulan sedikit-sedikit mengintip malu. Anggun bersandar di jendela rumahnya tiap malam, saat-saat suaminya bekerja. Ia terus saja melamuni kesendirian malam tanpa adanya sosok lelaki dewasa. Walaupun anaknya sudah bisa berjalan perlahan, baginya tetap itu sebuah kesendirian. Tanpa suami menjaganya. Bahkan, ia selalu menghitung potongan-potongan awan yang sudah berhasil melewati pohon besar di depan rumahnya. Kata neneknya Wibawa, sekaligus mamanya Anggun. Tanaman itu sudah ada sejak mamanya melahirkan Anggun. Dan masih ada hingga sang Santoso Wibawa, anak dari Anggun berjalan-jalan di rumah.

Santoso Wibawa sudah tertidur. Kesepian makin berselimut berkabut di dirinya.Tiap rumah berjarak kurang lebih dua sampai tiga meter. Televisi asik sendirian di ruang tamu. Anggun membiarkan itu menyala. Agar tidak sepi sekali. Seringkali, Televisi dimatikan saat suaminya baru pulang kerja. Sedangkan Anggun dan Santoso membiarkannya menyala.

Setelah sudah bosan dengan menghitung awan-awan muram di langit malam. Anggun melantun-lantunkan dendang. Kata orang sekitar, suara Anggun membawa keberkahan bagi orang-orang yang mendengarkan dan ia seperti dewi yang turun ke bumi untuk bersemayam di desa yang kusam. Suaranya lembut seperti kulit bayi, menusuk-nusuk hingga ke relung hati. Santoso makin lelap tidur mendengarkan dendang dari mamanya. Seperti tidur di atas awan yang ber bantal busa untuk para raja. Dalam dendangnya Anggun terus membereskan kamar, merapikan pakaian. Penantian suami yang besok baru pulang. Suara pijakan terdengar mendekat ke daun pintu rumahnya. Ia sudah di depan. Mengetuk-ngetuk.

“Permisi. Ada orang di sini?” Ucapan itu berulang hingga tiga kali.

Anggun tidak pernah mengenal suara itu.

“Siapa, Mas?” Ia tidak membuka pintunya. Masih dalam keadaan terkunci.

“Santoso. Teman Adi, suamimu.”

“Ada maksud apa, Mas?” ia lalu membuka pintu itu.

“Aku ingin menawarkan pekerjaan untukmu. Suaramu bagus untuk dipentaskan. Kata orang, suaramu seperti dewi.”

Anggun tampak malu-malu, walau di pipinya agak memerah.

“Bagaimana, mau?” Santoso menegaskan.

“Boleh, Mas. Tapi saya tanya suami saya dahulu.”

Santoso pamit dari rumah Anggun. Ia tampak tidak enak jika berlama di rumah tersebut. Tanpa suaminya yang ada. Ia seperti bertamu di rumah seorang janda. Walaupun berjarak agak jauh dengan rumah lainnya. Mesti ada tetangga yang selalu bertugas mengawasi seperti CCTV.

Anggun mengunci pintu. Kedatangan Santoso membuat dirinya lebih berharga menunggu sang suami. Ia ingin buru-buru menyampaikan pesan. Tangisan Santoso di dalam kamarnya berbunyi semakin membesar. Anggun buru-buru datang. Sebelum tangisan Santoso menjadi sebuah amukan raksasa kecil yang siap menggigit buah dadanya saat menyusu tanpa belas kasihan.

“Hallo-hallo, Sayang… Kenapa menangis… Haus, ya? Mau nyusu?” Anggun membuka gundukan daging yang ia selalu tutup itu. Gundukannya selalu pas dengan tangan suaminya. Kata suaminya, yaitu Adi. Ia sangat suka melihat gundukan-gundukan tersebut. Sekalinya melihat, ia selalu ingin mendaki tiap gundukan hingga ke puncak dengan mulutnya.

Teriakan Santoso berganti dengan sedotan yang tanpa berhenti. Pipinya berubah menjadi sebuah cekungan seperti kubangan. Walaupun sebelumnya menonjol bagai buah dada Anggun yang menarik mata tiap lelaki, khususnya Adi. Hisapan mulut Santoso pada puting mamanya lama-lama membuat dirinya tampak kelelahan dan tidur hingga jam sepuluh pagi.

Adi datang. Ia masuk dengan kunci yang ia punya. Televisi masih berisik sendirian. Ia matikan lalu menuju kamar. Ia tidak melihat istrinya di sana. Ia melirik ke kamar Santoso.

“Dek, tumben kamu tidur di sini. Dek…” Suaranya menurun saat panggilan dek. Ia lalu mengelus-ngelus kepala istrinya.

Ia terbangun kaget. Suaminya sudah pulang. Santoso masih mendekap dekat buah dadanya. Ia masih membiarkan sari-sari kehidupan untuk Santoso terbuka selebar-lebarnya.

“Ih. Kamu, Dek. Ini, kenapa di buka saja?”

“Maaf, Mas. Semalam aku tertidur di sini. Kondisiku masih menyusui dari semalam.”

Adi terus menggeliat dalam pikirannya. Benar kata orang, ia seperti dewi. Dewi yang hanya bisa dimiliki Adi. Untuk hari ini dan selamanya. Adi mencium sekujur muka Anggun dengan ganasnya. Lalu Anggun mendorong muka Adi dengan segera.

“Mas. Bersih-bersih dulu.” Nadanya manja namun tegas.

Adi ke belakang membersihkan kotorannya. Setelah rapih, ia tampak langsung melompat untuk beristirahat.

Enam jam berlalu. Adi terbangun karena suara Santoso yang terus berisik di dalam kamar itu. Ada dirinya, Anggun, dan Santoso. Santoso memukul-mukul badannya. Bisik-bisik, suara istrinya mengarahkan untuk bilang ke ayahnya, “Yah, bangun, bangun…” suara itu terus mengeluarkannya dari mimpi. Merah di matanya masih tersisa.

“Mas, bangun… lama banget tidurnya.”

“Capek.”

Santoso turun dari kasur. Ia mendekat ke arah mainan di pojok kamar. Ia bermain dan asyik sendiri. Tetiba Anggun mendekat ke Adi. Tangannya melesat memeluk. Tangan dan kaki Anggun melilit Adi.

“Mau apa?” Adi bertanya.

“Mau itu…” ia menunjuk ke selangkangan Adi.

“Nanti, itu anakmu…”

“Belum tahu dia, mas.”

Anggun langsung bangkit. Ia mengunci pintu utama. Lalu datang dan mengunci pintu kamar.

“Santoso, sebentar ya.” Ia berbicara dengan Santoso.

Anggun datang kembali ke Adi. Ia langsung menyerang muka Adi dengan lidahnya. Ia ingin membuat Adi berjingkat.

“Dek… Nanti dulu…” Adi mendorong Anggun menjauh. Kekuatannya masih banyak. Namun jika melawan istrinya, Adi selalu mengalah. Ia dorong terus, namun Anggun tetap tidak mau menyudahi.

“Diam, mas.”

Ia lalu membuka celana Adi. Gading yang Adi punya agak menegang. Ia seperti tiang listrik yang agak miring. Dari sana, Anggun suka memainkan aliran listriknya. Terkadang dari situ ia selalu memanfaatkan Adi untuk mau melakukan. Anggun bangkit. Ia hanya mematikan lampu. Langsung ia menyerang sebisanya agar suaminya mau menggoyang-goyangkan kenikmatan untuknya.
Adi sudah mulai membiarkan. Anggun terus bermain dengan alat kelamin Adi dengan bibir, mulut, dan lidahnya. Ia tambahkan topping dengan suara mendesah menikmati. Lama-lama Adi mengarahkan. Ia memegang rambut istrinya dengan keras. Jambakannya mengarahkan untuk mengukur kekuatan. Kekuatan dari rongga mulut Anggun. Luar biasanya, Adi selalu terpukau dengan kelihaian istrinya bermain-main dengan mulutnya. Ini baru permulaan.

Anggun terus bermain dengan mainan hidupnya. Adi dipaksa untuk melucuti helai demi helainya. Lalu Anggun. Dua manusia yang bebas. Tanpa ada sehelai benang pun yang menghalangi. Santoso terus bermain-main dengan mobil-mobilannya. Sesekali Santoso menengok, lalu fokus kembali.

Anggun memaksa gading itu masuk ke dalam rongga yang ia miliki. Ia di atas. Melompat-lompat seperti anak kecil yang baru saja diberikan uang THR. Ia sangat senang. Suaranya begitu memekik tiap pori-pori Adi. Adi terus seperti jungkat-jungkit. Adi mengganti arah. Anggun dipaksanya untuk merangkak, mengarah pintu. Adi seperti sedang menaiki kuda poni putih yang selalu ingin dihamili. Ia tampak buas walaupun badannya kecil. Rongga yang dimiliki Anggun terus menyedot seperti mulut Santoso saat menyusu. Lama-kelamaan, air itu ke luar dari gading Adi.
Adi kelelahan. Ia melihat istrinya tampak begitu cantik saat tidak menggunakan apa-apa. ia selalu yakin, ia seperti dewi.

Mereka masih berpeluk-pelukan di atas kasur. Hanya sehelai selimut yang menghalangi ketelanjangan mereka. Santoso dibopong ke atasnya. Anggun melihat lama-lama Adi terlelap kembali. Anggun membangunkannya, namun istirahat terus menjauhkan dirinya dengan Adi.

Anggun seperti biasa. Ia tidak malu saat Santoso melihat dirinya telanjang. Ia berjalan-jalan di kamar. Bercermin, berdendang. Terus ia lakukan. Ketukan pintu datang terburu-buru. Ia beranjak menggunakan kain. Kain itu gendongan untuk Santoso. Ia langsung membuka pintu.

Santoso kaget. Anggun dilihatnya begitu berantakan. Namun tetap seperti dewi dengan sehelai kain yang menutupnya.

“Eh, maaf, mas.” Anggun langsung memindahkan dirinya semula. Sekarang hanya kepalanya yang terlihat.
Santoso terus menertibkan pikiran-pikiran. ia diarahkan untuk duduk di tempatnya masing-masing. Seperti para guru yang mengajak satu angkatan untuk naik kereta antar kota. Santoso agak canggung.

“Gini, Mbak Anggun… Saya ingin mengkonfirmasi kembali soal pembicaraan kemarin.” Ia menjelaskan secara perlahan-lahan. Ia menikmati Anggun.

“Boleh, mas. Mau kapan?”

“Malam ini.”

Santoso pergi. Ia memberi dua ratus ribu rupiah kepada Anggun. Katanya sebagai uang DP. Anggun mengangguk-ngangguk menerima dengan senang.
Beberapa jam berlalu. Anggun sedang melayani Santoso: memberikan makan. Adi sudah rapih ingin berangkat. Anggun menarik Adi. Ia meminta izin untuk ke rumah Mama. Adi memperbolehkan. Lalu Adi pergi bekerja.

Setelah selesai dengan Santoso. Ia bersiap. Dandanannya rapi, wangi, dan menggoda. Kulitnya yang putih susu membuat siapapun mudah jatuh hati padanya.

Ia menuju ke rumah Mama. Dalam hati Anggun. Ia akan membantu Adi tanpa perlu memberikannya kabar dahulu. Setelah sudah ada hasil, baru ia sampaikan. Perjalanan begitu panjang jika diceritakan. Lalu ia sampai. Anggun lalu memberi mamanya uang, lalu menitip Santoso di sana dan pergi.

Di perempatan jalan. Ia melihat-lihat. Ia sudah berjanji dengan Santoso untuk menjemputnya di dekat sana. Matanya terus mencari keberadaan Santoso. Santoso dari kejauhan sudah melihat Anggun. Sepertinya mata Anggun agak picek. Santoso mendekat ke arahnya. Anggun senyum. Lalu berbicara sebentar dan naik.

“Sudah menyiapkan lagunya?”

“Sudah.”

Nanti kamu akan bertemu bos saya. Dia yang akan menilai.”

Sesampainya di sana. Studio sederhana, namun mewah menurut Anggun. Anggun merapih-rapihkan wajahnya. Ia menunggu sesuai antrian. Saat Anggun tiba, ia perlu menunggu lima orang. Setelah itu baru dirinya.

Bibirnya terus ia poles dengan lipstik. Pipinya terus digosok. Walaupun kata orang ia seperti dewi. Ia tetap tidak yakin bahwa dirinya cantik.

“Anggun.” Akhirnya giliran dirinya.

Ia berkenalan dengan bos Santoso. Ia tampak lebih tertata dan rapi. Ganteng tidak perlu ditanya. Ia bernyanyi dengan bebas.

Bisik-bisik, bosnya menanyakan kepada Santoso. Ia bertanya asal-usulnya dan lain tetek bengeknya.

“Kamu mau untuk acara besok?” bosnya bertanya.

“Boleh…” Anggun semangat menjawabnya.

“Tulis alamat kamu.”

Anggun menulisnya, lalu setelah itu. Ia dihantarkan kembali oleh Santoso ke tempatnya semula. Santoso sudah digendongnya menuju rumah. Ia sudah terlelap. Mamanya menanyakan tadi darimana. Ia hanya menjawab, “ada kerjaan.”

Rumahnya sudah dekat. Di ambang pintu, ia merogoh kunci di tas. Lalu masuk. Ia menaruh Santoso di kamar, dan membereskan mainan-mainan. Suara mobil berhenti di depan. Listrik mati. Semuanya gelap. Beberapa orang merangsek masuk. Anggun tertangkap. Mulut dan matanya disumpal untuk tidak melihat dan berbicara. Ia dibopong ke dalam mobil.

Anggun tidak tahu siapa mereka. Mobil ke luar dengan cepat. Ia meronta-ronta. Namun pegangan itu lebih kuat daripada dirinya. Ia terus berusaha. Lama-lama usahanya untuk melepas diri, hanya membuat dirinya semakin lemas dan tidak bertenaga. Ada yang sedang mengikat tangannya. Penutup kepalanya di buka. Namun matanya dibiarkan tertutup.

“Kamu sangat cantik sekali. Kenapa kamu mau sama Adi. Aku sudah mencintaimu sejak pertama kali bertemu. Coba tebak siapa aku…”

Suaranya begitu menggoda untuk Anggun berbicara. Anggun tetap berteriak-teriak sesuka dirinya. Ia tidak peduli. Tamparan memekik dirinya untuk diam.
“Siapa saya?”

Anggun membisu. Lambat laun ia berbicara, “tidak tahu.”

“Santoso. Bodoh.”

Ia sudah tahu. Namun ia bungkam untuk tidak berbicara. Ia memikirkan anaknya Santoso. Anggun berteriak-teriak sebisa dirinya. Matanya gelap tanpa bisa melihat siapa saja di sini. Santoso berbicara kepada dua suara yang berbeda. Anggun menyimpulkan, dua orang.

Anggun memiliki firasat yang buruk. Ucapan-ucapan mereka menginginkan sesuatu. Musik terdengar keras di dalam mobil. Benar saja. kakinya dipegang sangat keras. Mulutnya dibuka. Ia dipaksa minum. Beberapa teguk terus disodorkan. Kepalanya menggeser-geser. Kepalanya dipegang dengan kencang. Saat mulutnya menutup, tamparan terus berdatangan ke seluruh badannya.

Makin lama, kesadaran Anggun menghilang. Ia hanya merasakan seluruh badannya terus digerayangi. Ia merasa pakaiannya terus di buka secara paksa. Mula-mula dari gundukan yang disenangi Adi. Lambat laun mengarah ke arah bawah. Air matanya ke luar. Dirinya memaksa melepas. Badan Anggun seperti cacing yang terkena garam. Meliuk-liuk. Ia memaksa melepas. Sayang, dirinya hanya sendirian. Melawan empat orang laki-laki dewasa.

“Mampus, kamu. Jangan main-main sama Santoso.”

Santoso terus menggerayangi istri Adi. Ia leluasa bermain. Anggun dipaksa untuk mengangkang di atas Adi. Adi tidur di bawahnya. Dilema hatinya terlihat dari raut wajahnya. Ia menghujam lelaki itu dengan air matanya. Anggun sudah tidak berdaya. Badannya lemas lunglai dengan minuman. Ketidaksadaran diujung batas. Mobil dibawa secara bergiliran. Entah sudah keberapa kali Anggun seperti mainan bagi mereka. Sampai puas. Lalu mengantarkannya kembali ke rumah.

Suara tangisan Santoso menyelinap masuk di gendang telinga Anggun. Dirinya sadar secara perlahan. Efek minuman alkohol masih tersisa. Ia linglung, tapi tangisan Santoso terus membayangi. Anggun memaksakan diri.

Santoso terlihat baik-baik saja terawat. Anggun masih mengenakan yang amat semrawut. Acak-acakan. Ia menangis dipelukan Santoso. Anggun teringat suaminya. Ia bergegas ke kamar. Saat melihat Adi, mukanya babak belur dan biru-biru. Apalagi di area muka. Tangisan itu ke luar tanpa permisi. Ketukan pintu berbunyi tiba-tiba.
“Sebentar…” Anggun menaikan nada suaranya. Ia mengganti pakaian, lalu membuang pakaian yang sudah tidak berbentuk itu. Anggun mengintip dari jendela. Tetangganya.
“Ada apa, bu?” Anggun bertanya sambil merapikan beberapa helai rambutnya.

“Semalam ada yang memberikan ini ke rumah. Tapi tidak ada orang. Makanya memberikan kepada saya.” Ia menyodorkan sebuah surat.
Setelah pemberian itu. Anggun langsung membaca di kamar Santoso. Santoso terus menggantungkan bibirnya pada buah dada Anggun. Suratnya seperti ini.

Jakarta, 16 Juli 2001
Kepada Anggun,
Cantikmu terus menggelapkan hatiku. Diriku sekuntum bunga yang layu. Terus diamuk rasa rindu. Namun sayang, Adi telah menamatkan hatimu lebih dulu dariku. Aku kalah, namun aku ingin sekali bisa bermesraan seperti Adi tiap malam.

Aku ingin menyampaikan, Adi tidak sebaik dan sekeren yang kamu bayangkan. Adi senang sekali bermain perempuan di sini. Saat gajian tiba, ia bahkan berani menyewa beberapa perempuan sekaligus untuk membenamkan alat kelaminnya secara bergantian. Ia meminjam uangku, dengan jaminan dirimu, Anggun.

Maafkan aku. Aku sangat ingin memilikimu. Walaupun pertama kali hanya melihat dari foto. Barangkali itu jatuh cintaku. Saat beberapa hari diriku minta untuk menepati perjanjian. Ia ingkar. Ia mengamuk di tempatku bekerja. Bos marah. Ia menyuruhku menyelesaikan urusanku segera.

Maka dari itu. maafkan kenekatan diriku. Oh iya, Santoso sudah ku jaga dengan baik saat kita bercumbu di mobil. Ia akan baik-baik saja. Terima kasih.

Anggun merobek kertas itu hingga kecil-kecil. Matanya terus mengucurkan air. Entah karena Adi. Entah karena ia wanita yang memiliki rongga di selangkangannya. Entah ada seorang dewi yang menjelma di dalam dirinya. Sebelum memikirkan Entah berikutnya. Santoso sudah mengikis pikiran Anggun dengan tangisannya. Perlahan ia datangi Santoso. Hanya buah dadanya yang ia inginkan.

Biodata Diri
Alfiansyah Bayu Wardhana, biasa dipanggil Alfian. Lulusan S1 Sastra Indonesia, Universitas Pamulang. Kesibukannya saat ini membuat konten sastra, sejarah, dan budaya di akun media sosial pribadinya. Berkomunitas di Gerakan Berbagi dan Dewan Kesenian Kelurahan Serua. Karya yang sudah dipublikasi, yaitu: (1) Cerpen, Bulan Biarlah Aku Bermimpikan Bayangan terbit di Literasi Kalbar (2024); (2) Cerpen, Sepi Sesudah Ramai terbit di Riau Sastra (2024) dan LPM Al-Mizan (2024).

IG: Hoyalfi
Tiktok: Hoyalfi

The post Cerpen: Pintu Itu Diketuk appeared first on JurnalPost.

SOURCE

Recommended
Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul…