Benturan Pengaturan Upaya Paksa Penangkapan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Oleh Penyidik BNN Dan Polri, Begini bentuk Harmonisasinya!

Sah! – Upaya Harmonisasi Kewenangan BNN dan Polri

Narcotic Crime yang dikenal Bahasa Belandanya adalah Verdonvende misdaad di Indonesia dikenal dengan Tindak Pidana Narkotika sebagai salah satu tindak pidana yang diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Pemberantasan tindak pidana narkotika memerlukan peran penyidikan dari Polri dan BNN walaupun terdapat kendala dalam regulasi kewenangan antara keduanya. 

Perbedaan jangka waktu penangkapan antara penyidik BNN dan Polri menyebabkan terjadinya problematika hukum untuk menentukan penggunaan dasar hukum penangkapan tindak pidana narkotika. 

Dapat dilihat dalam KUHAP jangka waktu penangkapan penyidik Polri dilakukan dalam jangka waktu 1 x 24 jam saja tidak adanya perpanjangan waktu lagi. 

Apabila melebihi 1 x 24 jam maka hal tersebut melanggar hak tersangka sehingga akan dianggap tidak sah dengan konsekuensi tersangka harus dibebaskan demi hukum.

Berbeda halnya dalam UU Narkotika Pasal 76 mengatur kewenangan penyidik BNN jangka waktu penangkapan yang dimilikinya dalah 6 x 24 jam sudah termasuk perpanjangan. 

Adanya perbedaan pengaturan upaya paksa penangkapan terhadap pelaku tidak pidana narkotika, maka diperlukan upaya untuk mengharmonisasikan perbedaan tersebut. 

Keselarasan, keserasian, atau yang sering disebut harmonisasi berasal dari kata harmoni berarti adanya suatu kecocokan. 

Menurut Wahiduddin Adams dapat dipahami bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan itu sebagai upaya untuk melakukan penyelarasan rancangan undang-undang dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

 Dari yang lebih tinggi, sederajat, hingga ke peraturan yang lebih rendah dan juga hal lain diluar peraturan perundang-undangan tetap dilakukan penyelarasan agar sistematis dan tumpeng tindih (overlapping)

Salah satu pengaturan perundang-undangan yang perlu dilakukan harmonisasi yakni terkait pengaturan upaya paksa penangkapan terhadap pelaku tindak pidana narkotika. 

Perbedaan terjadi antara kewenangan waktu penangkapan antara penyidik BNN dan Polri dalam pengaturan UU Narkotika dan KUHAP. 

Dalam Pasal 70 UU Narkotika, penyidik BNN dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berkoordinasi dengan kepala Polri untuk mencegah dan memberantas narkotika.

Namun dapat timbul ketidakpastian kewenangan sebab adanya perbedaan pengaturan upaya paksa penangkapan terhadap pelaku tidak pidana narkotika. 

Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengharmonisasikan perbedaan tersebut agar baik penyidik Polri maupun BNN dapat menjalankan kewenangannya dengan tegas terutama dalam hal waktu penangkapan. 

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah Lex specialis dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 

Maksud Lex specialis ini adalah UU terkait penyalahgunaan  narkotika  sebagai  suatu  tindak  pidana  khusus  yang  pengaturannya dipisahkan dari aturan KUHAP. 

Perbedaan dasar hukum yang digunakan dari kedua regulasi tersebut menyebabkan perbedaan kewenangan penangkapan oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN sehingga memicu implikasi yuridis. 

Implikasi tersebut dilihat terhadap terjadinya perbedaan pengaturan upaya paksa penangkapan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dengan mempertimbangkan aspek yuridis, folosofis dan sosiologis. 

Penangkapan yang dilakukan oleh Polri dengan menggunakan dasar hukum KUHAP yaitu 1×24 jam belum dapat menjamin keakuratan data yang diperiksa di laboratorium forensik. Nantinya secara akurat membuktikan ada tidaknya kandungan zat-zat berbahaya dalam pelaku tindak pidana narkotika. 

Berbeda halnya dengan BNN yang menggunakan dasar hukum UU Narkotika diberikan kewenangan penangkapan 3×24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam atau selama 6 x 24 jam didasarkan pada pentingnya keakuratan data.

Keakuratan data itu ditunjang oleh hasil pengujian sample pada laboraturium forensik.

Waktu penangkapan penting untuk dipertegas karena diperlukan pemeriksaan terhadap tersangka terkait keterangan-keterangan yang dapat mengungkap fakta akan segala hal tentang tindak pidana yang terjadi.

Terdapat sudut pandang positif dan negatif dari pemberlakuan dasar hukum batas waktu penangkapan yang berbeda oleh Polri dan BNN. 

Sudut pandang negatif penggunaan dasar KUHAP yaitu 1×24 jam adalah tersangka yang harus dilepaskan dapat menghilangkan barang bukti lain yang dapat menunjang keakuratan pengumpulan alat bukti.

Hal itu menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan dengan double track system untuk mengetahui ia pelaku kejahatan atau korban yang perlu direhabilitasi.

Sudut pandang positif penggunaan dasar hukum KUHAP memberlakukan asas Praduga tak bersalah sebagai upaya untuk menjamin Hak Asasi Manusia.

Pada upaya untuk mengharmonisasikan hubungan antara penyidik BNN dan Polri, tentunya perlu memandang pengaturan yang telah diterapkan pada Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang berfungsi sebagai sentral penegakan hukum terpadu. 

Contohnya sama halnya dengan peran penting Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana Pilkada.

Tujuannya adalah untuk memberikan persamaan pemahaman pola penanganan tindak pidana Pilkada oleh Bawaslu, Kepolisian Negara Republik, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. 

Peran Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dalam hal tindak pidana narkotika juga dapat ditujukan sebagai sentral yang menyamakan pola upaya paksa pennagkapan oleh penyidik BNN dan penyidik Polri. 

Dengan adanya harmonisasi pengaturan antara penyidik BNN dan Polri dalam pelaksanaan upaya paksa sebagaimana dimaksud di atas.

Selain mencegah terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan upaya paksa penangkapan bagi pelaku tindak pidana narkotika oleh Penyidik BNN dan Polri serta mencegah ketidakpastian hukum dan pelanggaran prinsip persamaan di hadapan hukum. 

Hal ini juga mencegah terjadinya tumpang tindih (overlapping) kewenangan antara penyidik BNN dengan penyidik Polri.

Selain harmonisasi yang dilakukan dalam hal regulasi Polri dan BNN, penyidik Polri juga harus berkoordinasi dengan selaras dengan kejaksaan. 

Kejaksaan bertugas sebagai penuntut umum memerlukan koordinasi baik dengan Polri dalam hal sebagai berikut: penyidik polri wajib menginformasikan kepada kejaksaan saat dimulainya penyidikan hingga saat ada penghentian penuntutan kepada penuntut umum.

Dengan adanya harmonisasi yang baik dalam hal kewenangan maka permasalahan narkotika di Indonesia akan segera diberaantas dan diatasi.

 

Kunjungi laman berita hukum terpilih yang disajikan melalui website Sah.co.id. Baca berita terbaru lainnya dan kunjungi juga website Sah.co.id atau bisa hubungi WA 0856 2160 034 untuk informasi pengurusan legalitas usaha serta pembuatan izin HAKI termasuk pendaftaran hak cipta. Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha

Source:

Sudanto, Anton. “Penerapan Hukum Pidana Narkotika di Indonesia”. ADIL: Jurnal Hukum 7, No.1: 155.

Sudiarto. ”Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Polresta Mataram)”. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Mataram (2021).

Setiawan, Agung. “Tindak Pidana Narkotika (Studi Tentang Pertimbangan Hukum Hakim dalam Memutus Polisi sebagai Terdakwa di Pengadilan Negeri Boyolali)”. Disertasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (2017): 4.

Hutabarat, Abdul Muchlis. Idham et al. “Analisis Kewenangan Penyidik Kepolisian dan  Badan Narkotika Nasional Dalam Penegakan Hukum Pidana Narkotika (Studi Kasus Pada Polda Kepri dan Badan Narkotika Propinsi Kepulauan Riau”. Jurnal Wajah Hukum 4, No. 2 (2020): 217.

Rodliyah dan Salim. Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya. (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2017: 85).

Simangunsong, Frans. “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Kepolisian Resor Surakarta)”. Journal: RECHSTAAT Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNSA. 8, No. 1 (2014): 16.

The post Benturan Pengaturan Upaya Paksa Penangkapan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Oleh Penyidik BNN Dan Polri, Begini bentuk Harmonisasinya! appeared first on Sah! Blog.

SOURCE

Recommended
Sah! – Pidana mati atau hukuman mati adalah praktik yang…