Categories: Berita

Quo Vadis Carbon Trading sebagai Industri Keuangan Terbarukan

JurnalPost.com – Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan. Kredit karbon (carbon credit) adalah representasi dari ‘hak’ bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau. Lembaga verifikasi seperti Verra, akan menghitung kemampuan penyerapan karbon oleh lahan hutan pada proyek tertentu dan menerbitkan kredit karbon yang berbentuk sertifikat. Kredit karbon juga dapat berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya.

Namun, jika emisi yang dihasilkan melebihi kredit yang dimiliki, maka perusahan harus membayar denda atau membeli kredit di pasar karbon. Dengan demikian, negara-negara di dunia dapat mengontrol jumlah emisi karbon yang dihasilkan dan mengurangi dampak gas rumah kaca secara signifikan.

Pemerintah Indonesia meningkatkan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) menjadi 31,89% dengan usaha sendiri hingga 43,20% dengan bantuan internasional pada 2030.

Dengan kata lain, semakin besar peluang perdagangan karbon karena pasar emisi semakin naik. Target-target itu mengacu pada prediksi emisi dengan basis perhitungan 2010 sebesar 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Dengan penurunan sebesar 31,89%, emisi yang hendak direduksi 915 juta ton setara CO2. Jika harga karbon per ton sekitar US$ 5-10, nilai perdagangan karbon dari target tersebut paling tidak US$ 4,6 miliar atau Rp 70 triliun.

Oleh karena itu, perdagangan karbon berada dalam konteks transformasi peradaban yang luar biasa, sehingga diperlukan suatu learning curve tertentu sebelum perdagangan karbon ini menjadi efektif. Saat ini, beberapa negara di Asia, Eropa dan Amerika sudah mengimplementasi perdagangan karbon dan memanfaatkan bursa komoditi sebagai pasar terorganisir untuk memfasilitasinya serta dalam hal penyelenggaraan pasar karbon yang efektif, perlu adanya persiapan yang matang dari berbagai pihak terkait, terutama pemerintah sebagai regulator.

TANTANGAN PEMERINTAH
Perdagangan karbon menjadi instrumen ekonomi dan lingkungan dalam kebijakan mitigasi iklim. Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon pada 2021. Namun, dua aturan turunan berupa peraturan menteri yang menjadi petunjuk teknis dan pelaksanaan perdagangan emisi belum terbit hingga kini serta Selain itu, ada beberapa masalah lain untuk mendukung ekosistem perdagangan karbon Regulasi terkait operasionalisasi pasar karbon perlu dilengkapi, khususnya di sektor-sektor teknis dan Perlu memastikan kesiapan infrastruktur yang dibutuhkan dalam mendukung perdagangan karbon.

Regulasi berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan NEK atau carbon pricing. Secara umum, penetapan harga karbon terdiri atas dua mekanisme penting, yakni perdagangan karbon dan instrumen nonperdagangan.Instrumen perdagangan terdiri atas tutup dan perdagangan serta mekanisme penyeimbangan, sedangkan instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja (pembayaran berbasis hasil/RBP)

IMF menggambarkan simulasi ilustrasi pengenaan pajak karbon yang cukup rasional jika pajak karbon sebesar US$ 25 per ton. Dengan tarif pajak karbon sebesar ini, emisi yang bisa dikurangi dalam satu dekade sebanyak 21%. Bagi negara, pajak karbon akan menambah sekitar 0,8% PDB.

Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2022, pemerintah merancang dua alternatif skema pajak karbon, yakni memungut pajak karbon melalui instrumen yang sudah ada seperti cukai, pajak penghasilan (PPh), PPN, PPnBM, atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP); dan skema kedua memungut pajak karbon melalui instrumen baru yang akan disesuaikan nantinya.

Terkait tarif pajak karbon, Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan tarif pajak karbon yang ideal untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35-100 per ton atau sekitar Rp 507.500-Rp1,4 juta per ton. Angka tersebut jauh di atas tarif yang diajukan pemerintah dan sudah disetujui DPR, yakni Rp 30 per kilogram setara CO2.

Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara yang memiliki project penurunan emisi karbon terutama di sektor hutan, perlu untuk mengadakan pasar terorganisir untuk perdagangan karbon serta diperlukan sosialisasi masif tentang mekanisme perdagangan karbon kepada pelaku usaha untuk menumbuhkan pasar karbon di dalam negeri, mendorong percepatan regulasi terkait serta penerapan lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) serta diperlukan inovasi-inovasi instrumen kebijakan yang tepat guna agar tercipatnya satu ekosistem perdagangan karbon terpadu dan berkelanjutan.

Oleh: CORNELIUS CORNIADO GINTING, S.H.
FOUNDER PUSAT ADVOKASI DAN DALIL HUKUM INDONESIA (PADHI)

The post Quo Vadis Carbon Trading sebagai Industri Keuangan Terbarukan appeared first on JurnalPost.

SOURCE

viral

Share
Published by
viral

Recent Posts

Israel akan Kirim Delegasi ke Qatar untuk Negosiasi terkait Gaza

Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Israel akan Kirim Delegasi ke…

4 jam ago

8 Jam Live Streaming Penuh Ilmu, Cara Cerdas UMKM Cetak Cuan Bareng GETI

Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul 8 Jam Live Streaming Penuh…

4 jam ago

Jangan Sampai Gagal dalam Pengajuan KKPR, Perhatikan Hal Berikut Ini!

Sah! – Pengajuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) adalah tahap krusial bagi pelaku usaha atau…

4 jam ago

Apakah CV Bisa Mendirikan Anak Usaha?

Sah! – Dunia bisnis terus bergerak dinamis, menuntut para pelaku usaha untuk terus berinovasi dan…

4 jam ago

Faktor Apa yang Bikin Menteri KP Jadi Ketua DPW Jateng? Ini Kata PAN

Jakarta – Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono terpilih menjadi Ketua DPW PAN Jawa…

6 jam ago

Polisi Cek Aduan Pedagang Jadi Korban Pungli Anggota Ormas di Tangsel

Jakarta – Polisi mengecek aduan pedagang terkait adanya pungutan liar (pungli) dari anggota organisasi kemasyarakatan…

6 jam ago