Categories: Berita

Memahami Etik Islam Sebagai Etos Kemanusiaan

Oleh: Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.

JurnalPost.com – Sejalan dengan ide Islam adalah agama kemanusiaan, Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah menegaskan, bahwa hal yang paling penting dan mendesak umat Islam Indonesia di tengah keraguan agama sebagai sumber makna hidup manusia modern ialah memahami kembali ungkapan-ungkapan nilai-nilai ajaran agamanya yang lebih asasi. Pemahaman itu salah satunya dengan melihat secara asasi ungkapan-ungkapan dalam ajaran itu, umat Islam membutuhkan satu peneguhan pandangan terhadap kehidupan sosial kita dengan umat lain.

Etik Islam erat kaitan dengan hal substansial. Namun umat terkadang lebih tertipu dengan tampilan ketimbang hal yang esensial. Maka satu kali Cak Nur menggugah kesadaran Umat Islam Indonesia dengan menyatakan;

“Lebih baik minyak samin cap babi daripada, minyak babi cap onta, Jadi yang penting isinya”, tulisnya. Menurut Cak Nur lebih jauh bahwa dalam menumbuhkan basis etika dan moral bangsa Indonesia mengimplementasikan etos kemanusiaan. Ajaran Islam sebagai agama kemanusiaan menurut Cak Nur merupakan alternatif yang patut dikembangkan sebagai wahana pembentukan dasar etis berbangsa dengan konsep Al Quran. Salah satu konstruksi itu melalui etos al furqan. Lewat etos al furqan, Islam dapat menjadi penyumbang nilai etis secara menyeluruh sehingga peradaban Indonesia lahir dalam bentuk dialogis atau konvergensi dengan budaya lain.

Cak Nur dalam karyanya, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999) menyatakan, “…barangkali tidak ada persoalan masa depan bangsa kita ini yang lebih penting dan lebih serius daripada persoalan menegakkan etika atau akhlak bangsa. Di sinilah umat Islam dapat memberikan sumbangannya secara maksimal. Secara introspeksi, kita harus mengakui bahwa dalam etika, bangsa kita masih cukup lemah, jika tidak sangat lemah.

Meskipun sebagian besar rakyat beragama Islam, tetapi salah satu tujuan ajaran Islam sebagai al furqan, yaitu pemisah yang tegas antara yang haqq (benar) dan yang bathil (palsu) belum sepenuhnya dihayati seluruh warga negara. Sudah tentu kita bisa menunjuk pengaruh berbagai ajaran negatif di luar Islam. Tetapi hal itu tidak menghilangkan tanggung jawab kaum Muslim untuk mempertajam pemahaman terhadap agamanya dan memperkuat pengamalan ajaran-ajarannya sehingga semangat al furqan itu dapat terwujud secara nyata dalam masyarakat luas”.

Umat Islam Indonesia, terutama para pemikir dan aktivisnya mesti memahami serta menumbuhkan secara keseluruhan pedoman kehidupan dan basis etis bermasyarakat atau dalam cakupan lebih luas, bangsa dan negara. Hal ini sangat penting karena gambaran ideal umat Islam—dalam memberi arti keadaban—itu dapat dipahami melalui konsep Al Quran, yakni, “Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan untuk manusia, karena kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagipula kamu percaya kepada Tuhan”.

Untuk itu, sebagai dampak dari pelaksanaan ajaran ini, sepanjang sejarahnya, perjuangan kaum Muslim mesti dilihat dari semangat ayat di atas. Maka dari itu bagi Cak Nur, gagasan Islam sebagai agama kemanusiaan dan peradaban atau pemberi landasan etis kehidupan masyarakat Indonesia, dapat dilihat dalam konteks semangat Al Quran di atas yang seharusnya sudah terpatri dalam diri kaum Muslim.

Penerapan sisi etis kemanusiaan serta peradaban Islam dalam konteks Indonesia, adalah dengan kembali memahami nilai al khayr, ‘amr ma’ruf, dan nahyi munkar. Ketiga nilai ini dalam sejarah manusia, sebagaimana 30 tahun “Negara Madinah”, telah mencatatkan Islam sebagai agama peradaban terpenting dan terbesar. Maka dari itu persoalan penting dalam membentuk sisi etis bermasyarakat di Indonesia adalah dengan menangkap makna nilai ketiga trilogi di atas.

Al khayr berarti kebaikan universal atau dalam makna luas adalah penjabaran al islam. Umat Muslim Indonesia dituntut memiliki kemampuan mengangkat khayr itu pada level normatif dengan memahaminya menjadi nilai-nilai etis dan moral yang universal, dan hal tersebut baik sekali dicontohkan pada mayarakat Madinah. Adapun ‘amr ma’ruf dan nahyi munkar, dua hal ini merupakan praktik sosial dalam penjabaran kebaikan universal al islam.

Sementara keberadaan nilai-nilai Islam dalam hal ‘amr ma’ruf mestilah dipahami Kaum Muslimin Indonesia dengan konsep operatif-kondisional, atau menyesuaikan al khayr secara kongkret dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat yang terikat ruang dan waktu. Terakhir terkait nilai nahyi munkar adalah bagaimana mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan hidup budaya, sosial, politik dan ekonomi masyarakat, yang memungkinkan terjadinya perangai, tindakan, dan perbuatan yang berlawanan dengan kebaikan, atau ma’ruf (Nurcholish Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, 1999).

Oleh adanya prinsip titik temu sebagai nilai-nilai prinsipil dalam konsep kemanusiaan Islam, maka sejarah Nabi kala berada di Madinah menjadi rujukan spiritual penting. Realitas “Negara Madinah” yang Nabi dirikan relatif sama dengan apa yang terjadi di Indonesia. Madina kala itu merupakan “negara” dengan multi-kultur yang melingkupi Islam, Yahudi, dan Kristen. Mereka pun terdiri dari berbagai suku bangsa Arab. Hal yang sama dengan Indonesia yang terdiri dari ribuan etnis dan agama berbeda. Keduanya dapat disatukan dalam satu pernyataan etik dan titik temu,

Sebagaimana dicontohkan Nabi dengan kesepakatan bersama berdasarkan nilai etik Islam yang dituangkan dalam Piagam Madinah terhadap masyarakat non-Muslim. Bagi Cak Nur, bahwa di Indonesia kita ternyata memiliki hal yang sama, yakni Pancasila.

Maka dari iu, idealnya, dalam wadah Pancasila sebagai titik temu tersebut, dengan memahami ketiga sisi etis Islam di atas. Bahwa melalui al khayr, ‘amr ma’ruf, dan nahyi munkar sebagai nilai dan praksis bermasyarakat di Indonesia yang menjadi penjabarannya secara mendalam akan keuniversalan, inklusifitasnya, dan sisi kemanusiaannya. Islam akan mampu menyatakan diri dalam perwujudan etis dan moral yang kuat.

Sehingga nanti Indonesia (akan) tumbuh sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Ini bukan hanya masalah keyakinan, tetapi juga keyakinan sosiologis, karena masyarakat Indonesia itu kan mayoritas Islam, namun toleran dengan pemeluk agama lain yang minoritas, demikian tutup Cak Nur dalam satu karyanya, Islam Agama Peradaban (2000).

The post Memahami Etik Islam Sebagai Etos Kemanusiaan appeared first on JurnalPost.

SOURCE

viral

Share
Published by
viral

Recent Posts

Zelensky Akan Ikut Perundingan Ukraina-Rusia di Turki Jika Putin Hadir

Jakarta – Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menuntut agar Presiden Rusia Vladimir Putin menghadiri secara langsung…

1 jam ago

Warga Gagalkan Aksi Wanita yang Hendak Lompat dari Jembatan Merah Bogor

Bogor – Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi kepada siapa pun untuk melakukan…

1 jam ago

Serangan Bruteforce Tembus 14 Juta Kasus di Indonesia, Ancaman Siber Semakin Nyata

Jakarta, Gizmologi – Serangan siber dengan metode bruteforce masih menjadi senjata andalan para peretas untuk…

3 jam ago

3 Cara Menampilkan Emoji Emotikon dan Simbol Di Laptop Windows 10 Paling Mudah

3 Cara Menampilkan Emoji Emotikon dan Simbol Di Laptop Windows 10 Paling Mudah - KUBIS.online…

5 jam ago

Sugeng Rawuh: Kolaborasi Ronald Dewa dan Caca Lolita Hadirkan Nuansa Pop Dangdut Romantis

Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Sugeng Rawuh: Kolaborasi Ronald Dewa…

13 jam ago

Mengapa Banyak UMKM Memilih CV Sebagai Bentuk Usaha?

Sah! – Dalam dunia usaha, pelaku UMKM kerap dihadapkan pada pilihan bentuk badan hukum yang…

13 jam ago