Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
JurnalPost.com – Sekolah-sekolah di Hong Kong berada dalam krisis sebab gagal mencapai jumlah pendaftaran minimum. Akibatnya banyak siswa terpaksa bergabung dengan sekolah lain. Ada dua kasus terbaru. Banyak sekolah harus berhadapan dengan fakta pahit ini. Setidaknya lima sekolah tengah menghadapi realitas tak terhindarkan ini.
Ini bukan karena pendidikan yang jelek atau wali murid tidak ingin anak-anak mereka belajar. Ini terjadi karena Hong Kong tidak memiliki anak-anak yang cukup. Tingkat kelahiran Hong Kong adalah salah satu yang terendah di dunia. Untuk menciptakan dan memastikan populasi yang stabil, suatu negara membutuhkan tingkat kelahiran 2,1%. Di Hong Kong, tingkat kelhairan 0.9%. Ini berarti kurang dari satu anak per wanita.
Sebagai perbandingan, pada 1961 Hong Kong memiliki 35 bayi per seribu orang. Pada 2021 angkanya anjlok menjadi 5.2 kelahiran bayi per seribu orang. Angka ini terus turun dari tahun ke tahun. Hingga beberapa tahun yang lalu wanita dengan satu anak menjadi sebuah norma sosial. Hari ini hanya 27% wanita di Hong Kong yang punya satu anak. Lalu bagaimana dengan wanita tanpa anak? Mereka mewakili 43% jumlah populasi wanita di Hong Kong. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat sejak 2017.
Hong Kong memiliki populasi 7 juta orang dan mereka menua dengan cepat. Ini menjadi krisis dan pemerintah berupaya untuk mencari solusinya. Pemerintah memberikan insentif pajak kepada orang tua baru. Setiap orang tua mendapatkan keringanan pajak untuk masing-masing anak. Pemerintah Hong Kong ingin menggelontorkan dana untuk memecahkan problem ini. Para orang tua akan mendapatkan bonus US$ 2.500 untuk setiap bayi yang dilahirkan. Pemerintah benar-benar ingin mendongrak angka tarif kelahiran di Hong Kong.
Sebetulnya ini bukanlah konsep baru. Negara-negara Asia telah menerapkan pendekatan serupa. China, Jepang, Singapura dan Korea Selatan tengah menghadapi krisis populasi.
Angka kelahiran di Singapura adalah 1.05%, jauh dari angka ideal 2.1%. Pemerintah Singapura menawarkan lebih dari US$ 88.000 untuk orang tua baru. Ini untuk dua anak pertama. Bagi mereka yang memiliki anak ketiga akan menikmati bonus bayi sejumlah US$ 9.500.
Hal yang sama juga terjadi di Korea Selatan. Negara Gingseng ini memiliki tingkat kelahiran 0,78%. Di sini orang tua mendapatkan sekitar US$ 500 setiap bulan sampai si anak berumur setahun. Di Jepang tingkat kelahiran adalah 1,3% dan setiap orang tua mendapatkan tunjangan bulanan sekitar US$ 100 sampai anak itu berusia dua tahun.
Tren ini tidak terbatas pada Asia. Negara-negara seperti Argentina, Australia, Kanada, Republik Ceko, Perancis, Italia, Polandia dan Rusia juga memberikan bonus bayi dengan baik. India, negara terpadat di dunia, juga memberikan bonus berupa uang tunai, tapi untuk memperlambat kelahiran.
Kembali ke Hong Kong. Pemerintah di sana menawarkan bonus bayi. Kebijakan ini membuat banyak pihak menghela nafas lega. Tapi tidak sedikit yang kecewa. Jumlah tunjangan, US$ 2.500 ini sebetulnya menunjukkan pemerintah cukup bermurah hati. Pihak yang kecewa menyatakan bahwa jumlah ini sangat kecil dilihat dari kebutuhan hidup di sana. Jumlah US$ 2.500 nyaris tidak mencukupi untuk membayar rental per bulan. Jika seseorang menyewa apartemen seluas 500 meter persegi, maka sewa rata-ratanya adalah US$ 2.200. Lalu apakah menyodorkan uang tunai membantu orang tua?
Sebuah penelitian mengungkapkan ini sangat membantu, tetapi bonus ini tidak memacu peningkatan tingkat kelahiran. Bantuan uang tunai tidak selamanya cocok di negara-negara lainnya. Negara-negara Asia masih terus berjuang mengatasi anjloknya tingkat kelahiran. Beberapa ribu dolar tidak akan menyelesaikan masalah seputar kenaikan biaya hidup, membengkaknya biaya penitipan anak, kurangnya kebijakan yang ramah keluarga di tempat kerja, diskriminasi terhadap para ibu, budaya kerja berlebihan (overwork) dan standar hidup yang buruk secara umum.
Anda tidak dapat memperbaiki semua persoalan ini hanya dengan bonus bayi US$ 2.500. Lalu apa solusi yang efektif? Kebijakan pro-keluarga, perubahan dalam tindak-tanduk sosial
serta dukungan keuangan. Perancis menjadi studi kasus yang menarik di sini. Benar bahwa tingkat kelahiran di Perancis menurun, tetapi masih lebih tinggi di antara negara-negara Eropa. Ini terjadi karena kebijakan pro-keluarga di negara itu. Keluarga di Perancis mendapatkan keringanan pajak, bantuan perumahan bagi keluarga, banyaknya tempat penitipan anak yang dikelola negara, dan jam kerja yang hanya 35 jam per minggu.
Jika Hong Kong menginginkan peningkatan kelahiran yang berkelanjutan, maka pemerintahnya membutuhkan pendekatan holistik. Anda tidak dapat menyudahi persoalan bayi hanya dengan memberikan cek kepada keluarga yang punya anak.
The post Bonus Bayi di Hong Kong appeared first on JurnalPost.
Lo lagi cari HP yang layarnya bening parah, warna gonjreng, terus pas nonton jadi berasa…
GadgetDIVA - Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mendesak pemerintah untuk segera menggodok Undang-Undang (UU)…
Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Mahasiswi Peminatan Kesehatan Lingkungan FKM…
Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Pengabdian Masyarakat: Strategi Pengembangan Unit…
Sah! – Di Indonesia, aksi premanisme yang melibatkan ormas kian marak dan menimbulkan kekhawatiran di…
Sah! – Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) memegang peranan penting dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Bedasarkan konstitusi,…