Categories: Berita

Analisis RUU DKJ terkait pengangkatan Gubernur yang dipilih Melalui Presiden ditinjau dari Teori Demokrasi

Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Analisis RUU DKJ terkait pengangkatan Gubernur yang dipilih Melalui Presiden ditinjau dari Teori Demokrasi

Falih Rizky Anhari 1, Ahmad Najwan Herlambang2, Maulana Kalam Firdaus3

Hukum Tata Negara. UIN Syarif Hidayatullah

anhariifalihrzki@gmal.com,najwanherlambang7@gmail.com,maulanakalam07@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi karena adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden untuk mengangkat seorang pejabat gubernur DKI Jakarta guna mengisi kekosongan jabatan gubernur yang nantinya akan dipilih serentak pada bulan November tahun 2024. Tulisan ini bertujuan untuk mempertimbangkan kebijakan yang telah dikeluarkan mengenai pemilihan penjabat gubernur DKI Jakarta oleh presiden. Hal ini menjadi permasalahan karena pemilihan yang dilakukan tidak secara demokratis karena kurangnya partisipasi masyarakat. Pemilihan pejabat gubernur DKI Jakarta pada saat ini sedang berada di keadaan politik yang tidak sehat. Pemilihan pejabat gubernur ini dipilih oleh presiden tidak sesuai dengan dasar pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD NRI, ayat (3) yang berisikan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dan ayat (4) yang berisikan bahwak Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Studi literatur digunakan untuk mengembangkan data-data dan argumentasi yang dibangun oleh penulis. Harapannya, tulisan ini bisa memberikan pemikiran dan alternatif baru dalam ilmu politik, khususnya dalam kajian mengenai pemilihan kepala daerah secara demokratis.

Kata Kunci:Demokrasi, RUU DkJ, Pemilihan umum

PENDAHULUAN

Analisis RUU DKJ terkait pengangkatan Gubernur yang dipilih oleh Presiden, ditinjau dari teori demokrasi,  mengacu  pada  konsep  demokrasi  sebagai  sistem  pemerintahan  yang  melibatkan partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Demokrasi, menurut Kamus Besar Bahasa  Indonesia,  adalah  sistem  di  mana  kekuasaan  politik  dijalankan  oleh  rakyat  atau perwakilan yang mereka pilih. Prinsip-prinsip ini mencakup partisipasi rakyat dalam pembuatan keputusan, perlindungan hak asasi manusia (HAM), kebebasan berpendapat dan berserikat, serta rotasi kekuasaan secara berkala.

Konstitusi  sebagai  landasan  negara  demokratis  memainkan  peran  penting  dalam  membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa dalam demokrasi, kekuasaan tidak boleh disalahgunakan  atau dijalankan tanpa pertanggungjawaban kepada rakyat. Pemilihan umum  dan pemilihan kepala  daerah  langsung  di Indonesia  adalah manifestasi dari upaya menjalankan kedaulatan rakyat secara langsung dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Namun,  RUU  DKJ  yang  mengatur  pengangkatan  Gubernur  oleh  Presiden  memunculkan pertanyaan terkait dengan prinsip demokrasi yang ideal. Demokrasi yang sehat mengharuskan transparansi,   pertanggungjawaban,   dan   partisipasi   aktif   rakyat   dalam   proses   politik. Pengangkatan gubernur secara langsung oleh presiden dapat menghadirkan tantangan terhadap prinsip-prinsip  ini,  seperti potensi konsentrasi kekuasaan, kurangnya  akuntabilitas  lokal,  dan pengurangan partisipasi publik dalam pemilihan kepala daerah.

Dalam melanjutkan analisis terhadap RUU DKJ yang mengatur pengangkatan Gubernur oleh Presiden, perlu dipertimbangkan implikasi mendalamnya terhadap dinamika politik dan prinsip- prinsip   demokrasi   di   Indonesia.   Konsep   demokrasi   sebagai   sistem   pemerintahan   yang menempatkan   rakyat   sebagai   sumber   kekuasaan   utama   membutuhkan   mekanisme   yang memastikan  partisipasi   aktif  warga  dalam  pengambilan  keputusan  politik.  Pengangkatan langsung gubernur oleh presiden, meskipun bisa menghadirkan kepastian dan konsistensi dalam kepemimpinan, juga membawa risiko dalam konteks akuntabilitas lokal dan representasi publik yang mendasar bagi prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.

Pertama-tama, pengangkatan gubernur oleh presiden dapat menguatkan konsentrasi kekuasaan di tingkat pusat, mengurangi otonomi daerah, dan mempengaruhi dinamika politik lokal. Hal ini  bertentangan dengan prinsip desentralisasi yang dianut oleh Indonesia sebagai negara kepulauan dengan  keberagaman  budaya  dan  geografis  yang  luas.  Demokrasi  yang  sehat  memerlukan keberagaman  dalam  kebijakan  publik  yang  memperhitungkan  kebutuhan  dan  aspirasi  setiap wilayah secara proporsional.

Kedua, proses pengangkatan langsung juga dapat mengurangi partisipasi publik dalam pemilihan kepala daerah, yang  sebelumnya memberikan kesempatan bagi rakyat setempat untuk  secara langsung   memilih   pemimpin   mereka.   Partisipasi   ini   penting   untuk   memastikan   bahwa kepentingan lokal dan kebutuhan masyarakat terwakili dengan baik dalam proses pengambilan keputusan.  Pengurangan  partisipasi  publik   dapat  mengancam   legitimasi   demokratis   dari pemerintah daerah, karena mengurangi rasa kepemilikan dan identifikasi masyarakat terhadap pemerintahan mereka.

Selanjutnya,  aspek   yang   krusial   dalam   konsep   demokrasi   adalah   pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat. Dengan pengangkatan gubernur oleh presiden, pertanggungjawaban langsung terhadap rakyat setempat bisa menjadi kabur karena pemimpin daerah tidak dipilih secara langsung oleh mereka. Hal ini dapat mengurangi transparansi dalam proses kebijakan dan mengurangi   kemampuan   masyarakat  untuk   mempengaruhi   kebijakan   yang   memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.

Oleh  karena  itu,  sementara  RUU  DKJ  mungkin  dimaksudkan  untuk  meningkatkan  efisiensi administratif    dan    konsistensi    kebijakan    antara    pusat    dan  daerah, penting  untuk mempertimbangkankembali bagaimana   RUU   tersebut   dapat   memenuhi   prinsip-prinsip demokrasi  yang  telah   lama   dijunjung   tinggi   oleh  bangsa   ini.   Memperkuat  mekanisme pengawasan, memastikan partisipasi publik yang lebih besar, dan menegakkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi harus menjadi fokus utama dalam evaluasi dan implementasi RUU ini. Hanya dengan memastikan bahwa keputusan politik yang diambil mencerminkan aspirasi sebagian besar rakyat  dan  tetap menjaga keseimbangan kekuasaan  antara pusat  dan  daerah, Indonesia  dapat  mempertahankan  komitmen  pada  prinsip-prinsip  demokrasi  yang  kuat  dan inklusif.

Analisis mendalam terhadap RUU DKJ perlu mempertimbangkan sejauh mana RUU tersebut memenuhi prinsip-prinsip demokrasi yang diakui secara internasional serta kesesuaian dengan konteks dan kebutuhan Indonesia sebagai negara demokratis. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi  dampak  positif  dan  negatif  dari  setiap  kebijakan  yang  diusulkan  terhadap partisipasi publik,  kualitas  tata  kelola pemerintahan,  dan  kepatuhan  terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang telah terbukti efektif dalam konteks global maupun lokal.

Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, para penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian normatif menurut Peter Mahmud adalah penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

Dalam penelitian ini, para penulis juga menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan perundang -undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani agar tetap sesuai dengan tiga landasan atau dasar pembuatan peraturan perundang -undangan.

PEMBAHASAN
Konsep Demokrasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana seluruh rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan yang mereka pilih atau secara langsung. Dalam demokrasi, kekuasaan politik dan pengambilan keputusan dilakukan oleh rakyat atau warga negara secara langsung atau melalui perwakilan yang mereka pilih. Demokrasi juga berarti bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk membuat keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan adat yang memungkinkan adanya kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan set gagasan dan prinsip kebebasan, serta metode yang digunakan untuk melaksanakannya. Demokrasi memiliki makna tentang penghargaan untuk harkat dan martabat seorang manusia.

Meskipun banyak ahli berbeda dalam pengertiannya, demokrasi umumnya digambarkan sebagai sistem pemerintahan yang melibatkan rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan politik. Berikut adalah beberapa perspektif para ahli tentang demokrasi.

Abraham Lincoln
Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

C.F.  Strong
Demokrasi adlah sistem pemerintahan di mana mayoritas rakyat berusia dewasa turut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan, yang kemudian menjamin pemerintahan mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusannya.

Haris Soche
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan rakyat, karenanya dalam kekuasaan pemerintahan terdapat porsi bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan orang lain atau badan yang bertanggung jawab memerintah. Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia mencakup prinsip-prinsip demokrasi dan persyaratan yang diperlukan untuk membangun negara demokrasi.

1. Negara Berdasarkan Konstitusi
Negara demokratis adalah negara yang pemerintah dan warganya menjadikan konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi dapat didefinisikan sebagai undang-undang dasar negara atau seluruh peraturan hukum yang berlaku. Sebagai prinsip demokrasi, konstitusi memainkan peran penting dalam menjalankan kehidupan bernegara. Konstitusi membatasi wewenang penguasa atau pemerintah dan menjamin hak rakyat. Dengan demikian, rakyat tidak akan bertindak sewenang-wenang dantidak akan bertindak anarki saat menggunakan hak dan kewajibannya.

2. Jaminan Perlindungan HAM
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak fundamental yang dimiliki setiap individu sejak lahir sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.7, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia HAM meliputi hak untuk hidup, kebebasan beragama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat, serta hak-hak lainnya yang diatur oleh undang-undang. Perlindungan terhadap HAM adalah salah satu prinsip utama dalam negara demokrasi, karena menjaga HAM merupakan bagian integral dari pembangunan sebuah negara yang demokratis.

3. Kebebasan Berpendapat dan Berserikat
Demokrasi memberi kesempatan kepada setiap individu untuk berpikir, mengikuti hati nurani, dan menyampaikan pendapat secara baik. Salah satu prinsip demokrasi adalah memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk berserikat atau membentuk organisasi. Setiap orang berhak berkumpul dan membangun identitas melalui organisasi yang mereka dirikan. Melalui organisasi ini, individu dapat memperjuangkan hak-hak mereka sekaligus memenuhi kewajibannya.

4. Pergantian Kekuasaan Berkala
Lord Acton memperkenalkan gagasan tentang pentingnya pembatasan kekuasaan dalam prinsip demokrasi, karena menurutnya, kekuasaan yang mutlak cenderung disalahgunakan. Kutipannya yang terkenal adalah “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup”. Untuk membatasi kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, pergantian kekuasaan secaraberkala diperlukan. Proses pergantian kekuasaan ini dapat dilakukan melalui pemilihan umum yang jujur dan adil.

5. Peradilan Bebas dan Tak Memihak
Peradilan yang bebas berarti peradilan yang mandiri dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain, termasuk pemerintah. Prinsip ini sangat penting dalam demokrasi agar hukum dapat ditegakkan dengan benar. Hakim harus memiliki kebebasan untuk menemukan kebenaran dan menerapkan hukum tanpa diskriminasi. Sikap netral sangat dibutuhkan untuk menilai masalah dengan jelas dan tepat, sehingga hakim dapat memberikan keputusan yang adil bagi semua pihak yang terlibat.

6. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan
Persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum meningkatkan wibawa hukum. Hukum harus dijalankan secara adil tanpa memihak, dan setiap tindakan melawan hukum harus ditindak dengan tegas. Ketika hukum memiliki wibawa, setiap warga negara akan menghormati dan mematuhinya.

7. Jaminan Kebebasan Pers
Kebebasan pers adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi. Pers yang bebas memungkinkan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi serta memberikan kritik dan saran kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Selain itu, pers juga berfungsi sebagai media untuk menyosialisasikan program-program pemerintah. Melalui pers, diharapkan komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dapat terjalin. Sistem pemerintahan demokratis mencegah kekuasaan tunggal karena rakyat turut serta dalam pemerintahan melalui dewan yang dipilih.

Hakikat demokrasi sebagai sebuah sistem bermasyarakat, bernegara, dan pemerintahan menekankan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, baik dalam pengelolaan negara maupun pemerintahan. Kekuasaan di tangan rakyat berarti tiga hal: pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat. Sebuah pemerintahan dapat dianggap demokratis jika ketiga elemen tersebut dijalankan dan ditegakkan. Berdasarkan prosesnya, demokrasi dibagi menjadi dua bentuk: demokrasi langsung, di mana warga negara secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan, dan demokrasi tidak langsung atau representatif, di mana rakyat memilih wakil mereka di parlemen, seperti DPR, yang kemudian membuat kebijakan umum.

Indonesia menganut sistem demokrasi langsung, yang dibuktikan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) setiap limatahun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemilu diadakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Pemilu ini adalah sarana untuk melaksanakan kedaulatan rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain pemilu,pemerintah Indonesia juga menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung, yang dimulai sejak tahun 2005 berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, berlandaskan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pemilihan ini, Gubernur, Bupati, dan Wali kota dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1) Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 menyatakan bahwa “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Sejak Juni 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, termasuk Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali kota/Wakil Walikota, dipilih langsung oleh rakyat, menandai era baru dalam sejarah politik daerah di Indonesia dengan pemilihan langsung oleh rakyat.

Teori Demokrasi dan Pengisian Jabatan Kepala Daerah Mengutip teori Jean Jacques Rousseau, demokrasi adalah sebuah tahap atau proses yang harus dijalani oleh sebuah negara untuk mencapai kesejahteraan. Pernyataan Rousseau ini seolah-olah menyatakan bahwa demokrasi merupakan pembelajaran bagi suatu negara menuju perkembangan sistem pemerintahan yang ideal. Namun, Rousseau juga menyadari bahwa kesempurnaan bukanlah sesuatu yang dapat dicapai oleh manusia Teori demokrasi adalah konsep yang mencakup berbagai gagasan dan prinsip tentang bagaimana pemerintahan seharusnya dijalankan berdasarkan partisipasi dan kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Teori ini menekankan prinsip-prinsip seperti kesetaraan, kebebasan, partisipasi publik, akuntabilitas, dan transparansi dalam pemerintahan. Inti dari teori demokrasi adalah adanya pemerintahan-pemerintahan yang mendapat kekuasaannya dari kesepakatan mereka yang diperintah. Demokrasi juga melibatkan mekanisme untuk melindungi hak asasi manusia dan memastikan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan kehendak rakyat.

Terkait dengan makna “dipilih secara demokratis,” Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 memberikan interpretasi bahwa pemilihan secara langsung sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dikaitkan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD RI Tahun 1945 hasil amandemen keduatahun 2000. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Dengan dirumuskannya “dipilih secara demokratis,” maka ketentuan Pilkada juga mempertimbangkan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa.

Pengisian jabatan Kepala Daerah dianggap sebagai salah satu indikator demokratisasi dalam suatu negara, karena partisipasi politik rakyat terlihat jelas dalam menentukan pemimpinnya. Oleh karena itu, dalam pemilu, dapat diasumsikan adanya integrasi kepentingan antara rakyat dan pemimpin yang dipilihnya. Sebagai sumber legitimasi politik dalam negara demokrasi, pemilu diharapkan menjadi proses partisipasi politik yang terbuka dan adil, sehingga kepemimpinan didasarkan pada kehendak rakyat. Secara umum, negara-negara demokrasi percaya bahwa semakin banyak partisipasi rakyat dalam proses pengisian kepemimpinan, semakin baik. Tingginya partisipasi rakyat menunjukkan bahwa mereka memahami masalah pemerintahan dan ingin berkontribusi dalam menyelesaikannya. Sebaliknya, partisipasi yang rendah dianggap kurang baik karena menunjukkan ketidak pedulian rakyat terhadap masalah pemerintahan, yang dapat meragukan legitimasi pemimpin di masa depan. Kecenderungan untuk membentuk negara demokrasi di Barat semakin kuat dengan munculnya gagasan demokrasi konstitusional. Model demokrasi ini adalah sistem kekuasaan yang sepenuhnya didasarkan pada konstitusionalisme, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh Undang-Undang Dasar. Pembatasan kekuasaan ini salah satunya dilakukan melalui rotasi kekuasaan, yang dilaksanakan melalui pengisian jabatan, baik melalui lembaga perwakilan rakyat maupun secara langsung oleh rakyat.

Perubahan sistem pengisian jabatan Kepala Daerah di Indonesia, dari yang sebelumnya menggunakan sistem representatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian berubah menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 menjadi Undang-Undang, didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, untuk menciptakan konsistensi dalam proses pengisian jabatan kepemimpinan nasional dan pemerintahan daerah, sesuai dengan Pasal 6AAmandemen Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Kedua, adanya krisis kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat, karena proses pengisian jabatan oleh lembaga perwakilan rakyat diasumsikan hanya menekankan pada kompromi politik dan dapat melahirkan konspirasi politik. Ketiga, untuk lebih mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya, sehingga diharapkan terjadi integrasi dan hubungan erat antara rakyat dan pemimpin yang dipilih, serta terbangunnya komitmen bersama untuk menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat. Jika dilihat secara penafsiran tata bahasa (Grammartical Interpretatie) bahwa terkait dengan proses pengisian jabatan Kepala Daerah yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Amandemen Kedua UUD 1945, bahwa “Kepala Daerah, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinisi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis ”. Pasal tersebut menunjukkan bahwa pengisian jabatan Kepala Daerah harus dilakukan secara demokratis, yang dapat melalui lembaga perwakilan atau langsung oleh rakyat. Penafsiran sistematis ini, yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, menunjukkan bahwa pengisian jabatan Kepala Daerah, Bupati, dan Wali Kota memiliki kesamaan dengan proses pengisian jabatan kepemimpinan nasional, baik di pusat (Presiden) maupun di daerah (Kepala Daerah), menggunakan sistem pemilihan langsung (direct popular vote). Meskipun UUD 1945 tidak secara eksplisit menegaskan pemilihan langsung untuk Kepala Daerah, ini merupakan interpretasi dari pembuat undang-undang berdasarkan pengertian “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Amandemen Kedua UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) ini muncul bersamaan dengan Pasal 18A dan 18B dalam Amandemen Kedua UUD 1945 pada sidang umum tahunan MPR-RI tahun 2000, dan dimasukkan dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah. Pada sidang tahunan MPR RI tahun 2001, Pasal 22E diperkenalkan melalui Amandemen Ketiga, tetapitidak menyertakan Pasal 18 ayat (4) melainkan hanya Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD. Hal ini menunjukkan bahwa konstitusi tidak memasukkan pengisian jabatan Kepala Daerah dalam konteks pemilihan langsung yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1). Namun, negara menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, tidak memasukkan Pasal 18 ayat (4) dalam Bab Pengisian Jabatan Umum dalam UUD 1945 dianggap sebagai keputusan politik yang bijaksana untuk menjaga keberagaman daerah, stabilitas politik, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Proses pengisian jabatan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, serta Undang-Undang Nomor 1 dan 2 Tahun 2015, telah mendorong partisipasi rakyat secara langsung. Partisipasi rakyat mencerminkan adanya berbagai kepentingan dan tujuan dalam masyarakat yang menghasilkan variasi pendapat dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Semakin banyak variasi pilihan rakyat, semakin heterogen pilihan-pilihan tersebut, sehingga dalam proses politik kemungkinan negosiasi dan kompromi meningkat, yang dapat menghasilkan koalisi dan relasi kepemimpinan daerah. Dalam situasi ini, konflik sosial mungkin terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu, diperlukan kesamaan pikiran dan kesadaran bersama untuk menciptakan kondusivitas partisipasi politik dalam pengisian jabatan Kepala Daerah, sehingga resistensi kepentingan yang dapat memicu konflik dapat diminimalisir. Kajian ini tentang pengisian jabatan Kepala Daerah Provinsi berdasarkan UUD 1945 bertujuan menemukan sistem pengisian jabatan yang lebih demokratis. Kajian ini tidak hanya berusaha memberikan landasan berpikir teoritis-yuridis untuk menganalisis pokok permasalahan, tetapi juga untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait sistem pemilu dalam pengisian jabatan Kepala Daerah di tingkat pemerintah daerah Provinsi. Pengisian jabatan Kepala Daerah adalah isu sentral dalam hukum tata negara yang membutuhkan pengaturan komprehensif. Identifikasi seluruh persoalan yang timbul dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah diperlukan untuk mendapatkan pengaturan yang komprehensif. Dalam hukum tata negara, dikenal tiga jenis pengisian jabatan: diwariskan, diangkat, dan dipilih.

Pewarisan adalah metode tertua dalam monarki absolut, sedangkan pengangkatan dan pemilihan masih berlaku hingga saat ini. Metode pemilihan dapat berupa pemilihan tidak langsung dan langsung oleh rakyat. Dalam metode tidak langsung, kedaulatan rakyat diserahkan kepada elit politik, sedangkan dalam metode langsung, kedaulatan sepenuhnya dipegang oleh rakyat, yang lebih menjamin keterwakilan dan preferensi demokratis.

Legitimasi sangat penting dalam sistem politik. Menurut David Easton, legitimasi adalah keyakinan masyarakat bahwa kewenangan yang dimiliki penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Ini didasarkan pada persepsi bahwa pelaksanaan kewenangan sesuai dengan asas dan prosedur yang diterima luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan sah. Oleh karena itu, masyarakat menganggap wajar untuk mematuhi peraturan dan keputusan penguasa. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,” menggarisbawahi pentingnya legitimasi otoritas legal-rasional dan karismatik.

Menurut teori legitimasi elit, untuk memimpin masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat. Mereka yang memenuhi syarat ini dianggap sebagai elit dan memiliki hak untuk memegang kekuasaan. Terdapat beberapa bentuk legitimasi elit:

1. Legitimasi aristokratis.
Tradisionalnya, satu golongan, kasta, atau kelas dianggap lebih unggul dalam kemampuan memimpin, sering kali dalam hal kepandaian dalam berbagai bidang termasuk kemampuan berperang.

2. Legitimasi pragmatis.
Kelompok atau individu yang secara de facto menganggap dirinya paling cocok untuk memegang kekuasaan, dan mampu merebut serta mengelolanya, dianggap berhak untuk berkuasa.

3. Legitimasi ideologis.
Legitimasi ini diasumsikan adanya suatu ideologi yang mengikat seluruh masyarakat. Mereka yang mengemban ideologi ini memiliki hak khusus dalam menentukan kebenaran dan kekuasaan, dengan keyakinan bahwa mereka memahami bagaimana kehidupan masyarakat harus diatur berdasarkan monopoli pengetahuan ideologis.

4. Legitimasi teknokratis.
Disebut juga sebagai pemerintahan oleh para ahli, teori ini berpendapat bahwa pemerintahan modern yang kompleks memerlukan keahlian khusus di berbagai bidang. Meskipun para ahli dibutuhkan untuk membantu merancang kebijakan yang efektif, mereka tidak memiliki hak mutlak untuk berkuasa atas masyarakat, karena kontribusi mereka terbatas pada bidang keahlian mereka dalam merealisasikan kebijakan yang diambil. Hal ini dikarenakan dalam penentuan kebijakan terhadap masalah-masalah yang perlu dipecahkan oleh pemerintah, masukan dari banyak bidang keahlian perlu diperhatikan dan disinkronkan. Keahlian yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu tidak menjamin kompetensinya untuk memecahkan masalah multi kompleks.

Dampak Pengangkatan Gubernur yang di pilih melalui Presiden di tinjau dari teori Demokrasi RUU DKJ usulan inisiatif DPR RI, Pasal 10, menyatakan bahwa Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKI Jakarta) akan dipimpin oleh seorang gubernur yang dibantu oleh wakil gubernur. Gubernur dan wakil gubernur ini akan ditunjuk, diangkat, dan dapat diberhentikan oleh Presiden dengan mempertimbangkan usul atau pendapat DPRD. Secara hukum, pengaturan mengenai suksesi kepemimpinan DKI Jakarta yang terpisah dapat dianggap sebagai celah dalam regulasi. Prosedur pengangkatan gubernur DKI Jakarta menciptakan proses yang minim atau bahkan tidak memperhitungkan partisipasi langsung masyarakat. Dalam praktiknya, penerapan kebijakan ini berpotensi menimbulkan pro dan kontra yang signifikan. Pengangkatan gubernur DKI Jakarta oleh presiden akan mengurangi kesempatan bagi rakyat DKI Jakarta untuk berpartisipasi langsung dalam pemilihan kepemimpinan mereka sendiri. Lebih lanjut lagi, hal ini berarti bahwa rakyat DKI Jakarta tidak memiliki hak suara dalam pemilihan kepala daerah di tingkat eksekutif, seperti halnya walikota dan bupati di daerah-daerah lain di Indonesia, yang pejabatnya diangkat oleh gubernur DKI Jakarta. Situasi ini menciptakan keadaan di mana masyarakat DKI Jakarta hanya dapat memilih anggota DPRD DKI Jakarta. Dengan adanya pengangkatan gubernur DKI Jakarta oleh presiden, potensi untuk timbulnya konflik sosial dan ketidak stabilan ekonomi meningkat, karenakurangnya partisipasi langsung masyarakat dalam proses pemilihan gubernur.

Landasan hukum untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dipengaruhi oleh perubahan politik yang memengaruhi pola kegiatan, distribusi kekuasaan, dan perilaku kepemimpinan Kepala Daerah. Sejak UU No. 1 Tahun 1945 hingga UU No. 12 Tahun 2008, ketentuan normatif yang mengatur sistem pemerintahan daerah telah mengatur peran, tugas, fungsi, kewajiban, dan persyaratan bagi Kepala Daerah. Jabatan Kepala Daerah dianggap sebagai jabatan politik, seperti yang ditunjukkan dengan adanya pemilihan bupati yang pesertanya berasal dari partai politik yang dipilih oleh rakyat melalui partai tersebut. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Daerah dibantu oleh perangkat teknis untuk melaksanakan fungsi administratif, kepemimpinan, pembinaan, pelayanan, dan tugas-tugas lainnya yang menjadi tanggung jawabnya. Efektivitas pencapaian tujuan organisasi pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh kemampuan, kompetensi, dan kinerja Kepala Daerah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya.
Pengangkatan gubernur oleh Presiden dianggap kurang demokratis dan rentan terhadap tantangan hukum. Sebagaimana dijelaskan oleh Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari, penunjukan gubernur tidak dilakukan secara transparan kepada publik dan tidak ada kejelasan dalam peraturan Kemendagri.

Titi Anggraeni, anggota Dewan Pembina Perludem, juga berpendapat bahwa Kemendagri seharusnya mengatur mekanisme pelaksanaan pemilihan gubernur secara demokratis untuk memastikan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses penunjukan calon gubernur. Penerbitan aturan ini dianggap penting untuk menegaskan komitmen pemerintah kepada masyarakat bahwa pengangkatan gubernur dilakukan tanpa kecenderungan politis atau transaksional, dan lebih melibatkan masyarakat dalam menentukan kriteria ataunama calon gubernur yang akan diangkat.

Polemik yang muncul dimasyarakat terkait penunjukan langsung gubernur oleh presiden mencerminkan kekhawatiran akan proses penunjukan yang kurang melibatkan daerah. Pro dan kontra terkait kebijakan ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah pusat bahwa ada kebutuhan untuk memperbaiki proses penunjukan kepala daerah. Sistem politik yang dikembangkan pada masa Orde Baru menunjukkan adanya sentralisme yang kuat, di mana semua keputusan politik terpusat di Jakarta, terutama dalam keputusan Presiden Soeharto. Sentralisme ini berdampak pada sistem pemilihan kepala daerah yang juga sentralistik, di mana masyarakat dan pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk memilih kepala daerah mereka sendiri. Peran dominan pemerintah pusat, khususnya Presiden, dalam menentukan siapa yang menjadi kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk DKI Jakarta, terlihat jelas dalam UU No. 18 Tahun 1965 yang mengatur bahwa kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri berdasarkan calon-calon dari DPRD.
Dalam pemilihan Gubernur yang ditunjuk langsung oleh presiden memiliki pertententangan pada konsep Demokrasi yaitu;

a. Masyarakat Tidak Mengenal Kepala Daerah
Tentunya dengan hal ini memiliki dampak negatif dari penetapan calon gubernur tersebut, seperti masyarakat tidak mengenal bagaimana kepala daerahnya yang akan dipilih, sehingga masyarakat buta terhadap pemimpinnya dan sebagai sarana partisipasi politik masyarakat untuk menggunakan hak demokratisnya, yakni dipilih dan memilih.

b. Kurangnya Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam proses politik sangat penting sebagai elemen kunci dalam good government, yang dilihat sebagai langkah awal dalam reformasi tahun 1998. Partisipasi politik merupakan ciri penting dari modernisasi politik, di mana warga negara memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan keputusan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh presiden berpotensi mengurangi partisipasi politik masyarakat.

c. Menghilangkan nilai demokrasi di daerah
Dampak yang dilihat dari sisi demokrasi, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh presiden akan menghilangkan nilai demokrasi yang sebenarnya. Secara teoritis, urgensi tidak sesuai yang diterapkannya sistem Pilkada Langsung atau Perppu No 1 Tahun 2014. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung bagi para Kepala Daerah (Local government head) dan para anggota DPRD (Local Representative Council ), dengan pemlihan yang tidak Demokratis menghilangkan terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsive. Hal ini merupakan dampak negatif bagi daerah yang sebelumnya melakuan pemilihan dengan Demokratis.

d. Memberikan Legitimasi Rendah Kepala Daerah Terpilih
Dampak selanjutnya juga akan dirasakan oleh Kepala Daerah terpilih adalah memiliki legitimasi Kepala daerah terpilih dapat menghadapi legitimasi yang rendah karena dipilih melalui proses yang tidak demokratis. Legitimasi dianggap penting dalam konteks pemerintahan daerah karena mencerminkan dukungan masyarakat terhadap pemerintah mereka, yang esensial untuk perkembangan pemerintahan ke depan. Pemilihan kepala daerah secara tidak demokratis berpotensi merendahkan legitimasi kepala daerah yang terpilih dimata masyarakat.
langsung maupun melalui perwakilan. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan adat yang memungkinkan adanya kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan set gagasan dan prinsip kebebasan, serta metode yang digunakan untuk melaksanakannya. Demokrasi memiliki makna tentang penghargaan untuk harkat dan martabat seorang manusia.

Meskipun banyak ahli berbeda dalam pengertiannya, demokrasi umumnya digambarkan sebagai sistem pemerintahan yang melibatkan rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan politik. Berikut adalah beberapa perspektif para ahli tentang demokrasi.

Abraham Lincoln
Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

C.F. Strong
Demokrasi adlh sistem pemerintahan di mana mayoritas rakyat berusia dewasa turut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan, yang kemudian menjamin pemerintahan mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusannya.

Haris Soche
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan rakyat, karenanya dalam kekuasaan pemerintahan terdapat porsi bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan orang lain atau badan yang bertanggung jawab pemerintah.

Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia mencakup prinsip-prinsip demokrasi dan persyaratan yang di perlukan untuk membangun negara demokrasi.

1. Negara Berdasarkan Konstitusi
Negara demokratis adalah negara yang pemerintah dan warganya menjadikan konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi dapat didefinisikan sebagai undang-undang dasar negara atau seluruh peraturan hukum yang berlaku. Sebagai prinsip demokrasi, konstitusi memainkan peran penting dalam menjalankan kehidupan bernegara. Konstitusi membatasi wewenang penguasa atau pemerintah dan menjamin hak rakyat. Dengan demikian, rakyat tidak akan bertindak sewenang-wenang dan tidak akan bertindak anarki saat menggunakan hak dan kewajibannya.

2. Jaminan Perlindungan HAM
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak fundamental yang dimiliki setiap individu sejak lahir sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.7, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia HAM meliputi hak untuk hidup, kebebasan beragama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat, serta hak-hak lainnya yang diatur oleh undang-undang. Perlindungan terhadap HAM adalah salah satu prinsip utama dalam negara demokrasi, karena menjaga HAM merupakan bagian integral dari pembangunan sebuah negara yang demokratis.

3. Kebebasan Berpendapat dan Berserikat
Demokrasi memberi kesempatan kepada setiap individu untuk berpikir, mengikuti hati nurani, dan menyampaikan pendapat secara baik. Salah satu prinsip demokrasi adalah memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk berserikat atau membentuk organisasi. Setiap orang berhak berkumpul dan membangun identitas melalui organisasi yang mereka dirikan. Melalui organisasi ini, individu dapat memperjuangkan hak-hak mereka sekaligus memenuhi kewajibannya.

4. Pergantian Kekuasaan Berkala
Lord Acton memperkenalkan gagasan tentang pentingnya pembatasan kekuasaan dalam prinsip demokrasi, karena menurutnya, kekuasaan yang mutlak cenderung disalahgunakan. Kutipannya yang terkenal adalah “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup”. Untuk membatasi kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, pergantian kekuasaan secaraberkala diperlukan. Proses pergantian kekuasaan ini dapat dilakukan melalui pemilihan umum yang jujur dan adil.

5. Peradilan Bebas dan Tak Memihak
Peradilan yang bebas berarti peradilan yang mandiri dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain, termasuk pemerintah. Prinsip ini sangat penting dalam demokrasi agar hukum dapat ditegakkan dengan benar. Hakim harus memiliki kebebasan untuk menemukan kebenaran dan menerapkan hukum tanpa diskriminasi. Sikap netral sangat dibutuhkan untuk menilai masalah dengan jelas dan tepat, sehingga hakim dapat memberikan keputusan yang adil bagi semua pihak yang terlibat.

6. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan
Persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum meningkatkan wibawa hukum. Hukum harus dijalankan secara adil tanpa memihak, dan setiap tindakan melawan hukum harus ditindak dengan tegas. Ketika hukum memiliki wibawa, setiap warga negara akan menghormati dan mematuhinya.

7. Jaminan Kebebasan Pers
Kebebasan pers adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi. Pers yang bebas memungkinkan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi serta memberikan kritik dan saran kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Selain itu, pers juga berfungsi sebagai media untuk menyosialisasikan program-program pemerintah. Melalui pers, diharapkan komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dapat terjalin. Sistem pemerintahan demokratis mencegah kekuasaan tunggal karena rakyat turut serta dalam pemerintahan melalui dewan yang dipilih.

Hakikat demokrasi sebagai sebuah sistem bermasyarakat, bernegara, dan pemerintahan menekankan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, baik dalam pengelolaan negara maupun pemerintahan. Kekuasaan di tangan rakyat berarti tiga hal: pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat. Sebuah pemerintahan dapat dianggap demokratis jika ketiga elemen tersebut dijalankan dan ditegakkan. Berdasarkan prosesnya, demokrasi dibagi menjadi dua bentuk: demokrasi langsung, di mana warga negara secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan, dan demokrasi tidak langsung atau representatif, di mana rakyat memilih wakil mereka di parlemen, seperti DPR, yang kemudian membuat kebijakan umum.

Indonesia menganut sistem demokrasi langsung, yang dibuktikan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) setiap limatahun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemilu diadakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Pemilu ini adalah sarana untuk melaksanakan kedaulatan rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain pemilu,pemerintah Indonesia juga menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung, yang dimulai sejak tahun 2005 berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, berlandaskan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pemilihan ini, Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1) Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 menyatakan bahwa “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Sejak Juni 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, termasuk Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, dipilih langsung oleh rakyat, menandai era baru dalam sejarah politik daerah di Indonesia dengan pemilihan langsung oleh rakyat.

Teori Demokrasi dan Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Mengutip teori Jean Jacques Rousseau, demokrasi adalah sebuah tahap atau proses yang harus dijalani oleh sebuah negara untuk mencapai kesejahteraan. Pernyataan Rousseau ini seolah-olah menyatakan bahwa demokrasi merupakan pembelajaran bagi suatu negara menuju perkembangan sistem pemerintahan yang ideal. Namun, Rousseau juga menyadari bahwa kesempurnaan bukanlah sesuatu yang dapat dicapai oleh manusia Teori demokrasi adalah konsep yang mencakup berbagai gagasan dan prinsip tentang bagaimana pemerintahan seharusnya dijalankan berdasarkan partisipasi dan kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Teori ini menekankan prinsip-prinsip seperti kesetaraan, kebebasan, partisipasi publik, akuntabilitas, dan transparansi dalam pemerintahan. Inti dari teori demokrasi adalah adanya pemerintahan-pemerintahan yang mendapat kekuasaannya dari kesepakatan mereka yang diperintah. Demokrasi juga melibatkan mekanisme untuk melindungi hak asasi manusia dan memastikan bahwa pemerintah bertindak sesuaidengan kehendak rakyat.

Terkait dengan makna “dipilih secara demokratis,” Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 memberikan interpretasi bahwa pemilihan secara langsung sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dikaitkan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen keduatahun 2000. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Dengan dirumuskannya “dipilih secara demokratis,” maka ketentuan Pilkada juga mempertimbangkan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa.

Pengisian jabatan Kepala Daerah dianggap sebagai salah satu indikator demokratisasi dalam suatu negara, karena partisipasi politik rakyat terlihat jelas dalam menentukan pemimpinnya. Oleh karena itu, dalam pemilu, dapat diasumsikan adanya integrasi kepentingan antara rakyat dan pemimpin yang dipilihnya. Sebagai sumber legitimasi politik dalam negara demokrasi, pemilu diharapkan menjadi proses partisipasi politik yang terbuka dan adil, sehingga kepemimpinan didasarkan pada kehendak rakyat.

Secara umum, negara-negara demokrasi percaya bahwa semakin banyak partisipasi rakyat dalam proses pengisian kepemimpinan, semakin baik. Tingginya partisipasi rakyat menunjukkan bahwa mereka memahami masalah pemerintahan dan ingin berkontribusi dalam menyelesaikannya. Sebaliknya, partisipasi yang rendah dianggap kurang baik karena menunjukkan ketidak pedulian rakyat terhadap masalah pemerintahan, yang dapat meragukan legitimasi pemimpin di masa depan. Kecenderungan untuk membentuk negara demokrasi di Barat semakin kuat dengan munculnya gagasan demokrasi konstitusional. Model demokrasi ini adalah sistem kekuasaan yang sepenuhnya didasarkan pada konstitusionalisme, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh Undang-Undang Dasar. Pembatasan kekuasaan ini salah satunya dilakukan melalui rotasi kekuasaan, yang dilaksanakan melalui pengisian jabatan, baik melalui lembaga perwakilan rakyat maupun secara langsung oleh rakyat.

Perubahan sistem pengisian jabatan Kepala Daerah di Indonesia, dari yang sebelumnya menggunakan sistem representatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian berubah menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 menjadi Undang-Undang, didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, untuk menciptakan konsistensi dalam proses pengisian jabatan kepemimpinan nasional dan pemerintahan daerah, sesuai dengan Pasal 6A Amandemen Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Kedua, adanya krisis kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat, karena proses pengisian jabatan oleh lembaga perwakilan rakyat diasumsikan hanya menekankan pada kompromi politik dan dapat melahirkan konspirasi politik. Ketiga, untuk lebih mendekatkan pemimpin dengan rakyatnya, sehingga diharapkan terjadi integrasi dan hubungan erat antara rakyat dan pemimpin yang dipilih, serta terbangunnya komitmen bersama untuk menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat. Jika dilihat secara penafsiran tata bahasa (Grammartical Interpretatie) bahwa terkait dengan proses pengisian jabatan Kepala Daerah yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Amandemen Kedua UUD 1945, bahwa “Kepala Daerah, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinisi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis ”. Pasal tersebut menunjukkan bahwa pengisian jabatan Kepala Daerah harus dilakukan secara demokratis, yang dapat melalui lembaga perwakilan atau langsung oleh rakyat. Penafsiran sistematis ini, yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, menunjukkan bahwa pengisian jabatan Kepala Daerah, Bupati, dan Wali Kota memiliki kesamaan dengan proses pengisian jabatan kepemimpinan nasional, baik di pusat (Presiden) maupun di daerah (Kepala Daerah), menggunakan sistem pemilihan langsung (direct popular vote). Meskipun UUD 1945 tidak secara eksplisit menegaskan pemilihan langsung untuk Kepala Daerah, ini merupakan interpretasi dari pembuat undang-undang berdasarkan pengertian “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Amandemen Kedua UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) ini muncul bersamaan dengan Pasal 18A dan 18B dalam Amandemen Kedua UUD 1945 pada sidang umum tahunan MPR-RI tahun 2000, dan dimasukkan dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah. Pada sidang tahunan MPR RI tahun 2001, Pasal 22E diperkenalkan melalui Amandemen Ketiga, tetapi tidak menyertakan Pasal 18 ayat (4) melainkan hanya Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD. Hal ini menunjukkan bahwa konstitusi tidak memasukkan pengisian jabatan Kepala Daerah dalam konteks pemilihan langsung yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1). Namun, negara menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, tidak memasukkan Pasal 18 ayat (4) dalam Bab Pengisian Jabatan Umum dalam UUD 1945 dianggap sebagai keputusan politik yang bijaksana untuk menjaga keberagaman daerah, stabilitas politik, dankeutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Proses pengisian jabatan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, serta Undang-Undang Nomor 1 dan 2 Tahun 2015, telah mendorong partisipasi rakyat secara langsung. Partisipasi rakyat mencerminkan adanya berbagai kepentingan dan tujuan dalam masyarakat yang menghasilkan variasi pendapat dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Semakin banyak variasi pilihan rakyat, semakin heterogen pilihan-pilihan tersebut, sehingga dalam proses politik kemungkinan negosiasi dan kompromi meningkat, yang dapat menghasilkan koalisi dan relasi kepemimpinan daerah. Dalam situasi ini, konflik sosial mungkin terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu, diperlukan kesamaan pikiran dan kesadaran bersama untuk menciptakan kondusivitas partisipasi politik dalam pengisian jabatan Kepala Daerah, sehingga resistensi kepentingan yang dapat memicu konflik dapat diminimalisir. Kajian ini tentang pengisian jabatan Kepala Daerah Provinsi berdasarkan UUD 1945 bertujuan menemukan sistem pengisian jabatan yang lebih demokratis. Kajian ini tidak hanya berusaha memberikan landasan berpikir teoritis-yuridis untuk menganalisis pokok permasalahan, tetapi juga untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait sistem pemilu dalam pengisian jabatan Kepala Daerah di tingkat pemerintah daerah Provinsi. Pengisian jabatan Kepala Daerah adalah isu sentra ldalam hukum tata negara yang membutuhkan pengaturan komprehensif. Identifikasi seluruh persoalan yang timbul dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah diperlukan untuk mendapatkan pengaturan yang komprehensif. Dalam hukum tata negara, dikenal tiga jenis pengisian jabatan: diwariskan, diangkat, dan dipilih.

Pewarisan adalah metode tertua dalam monarki absolut, sedangkan pengangkatan dan pemilihan masih berlaku hingga saat ini. Metode pemilihan dapat berupa pemilihan tidak langsung dan langsung oleh rakyat. Dalam metode tidak langsung, kedaulatan rakyat diserahkan kepada elit politik, sedangkan dalam metode langsung, kedaulatan sepenuhnya dipegang oleh rakyat, yang lebih menjamin keterwakilan dan preferensi demokratis.

Legitimasi sangat penting dalam sistem politik. Menurut David Easton, legitimasi adalah keyakinan masyarakat bahwa kewenangan yang dimiliki penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Ini didasarkan pada persepsi bahwa pelaksanaan kewenangan sesuai dengan asas dan prosedur yang diterima luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan sah. Oleh karena itu, masyarakat menganggap wajar untuk mematuhi peraturan dan keputusan penguasa. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,” menggarisbawahi pentingnya legitimasi otoritas legal-rasional dan karismatik.

Menurut teori legitimasi elit, untuk memimpin masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat. Mereka yang memenuhi syarat ini dianggap sebagai elit dan memiliki hak untuk memegang kekuasaan. Terdapat beberapa bentuk legitimasi elit:

1. Legitimasi aristokratis.
Tradisionalnya, satu golongan, kasta, atau kelas dianggap lebih unggul dalam kemampuan memimpin, sering kali dalam hal kepandaian dalam berbagai bidang termasuk kemampuan berperang.

2. Legitimasi pragmatis.
Kelompok atau individu yang secara de facto menganggap dirinya paling cocok untuk memegang kekuasaan, dan mampu merebut serta mengelolanya, dianggap berhak untuk berkuasa.

3. Legitimasi ideologis.
Legitimasi ini diasumsikan adanya suatu ideologi yang mengikat seluruh masyarakat. Mereka yang mengemban ideologi ini memiliki hak khusus dalam menentukan kebenaran dan kekuasaan, dengan keyakinan bahwa mereka memahami bagaimana kehidupan masyarakat harus diatur berdasarkan monopoli pengetahuan ideologis.

4. Legitimasi teknokratis.
Disebut juga sebagai pemerintahan oleh para ahli, teori ini berpendapat bahwa pemerintahan modern yang kompleks memerlukan keahlian khusus di berbagai bidang. Meskipun para ahli dibutuhkan untuk membantu merancang kebijakan yang efektif, mereka tidak memiliki hak mutlak untuk berkuasa atas masyarakat, karena kontribusi mereka terbatas pada bidang keahlian mereka dalam merealisasikan kebijakan yang diambil. Hal ini dikarenakan dalam penentuan kebijakan terhadap masalah-masalah yang perlu dipecahkan oleh pemerintah, masukan dari banyak bidang keahlian perlu diperhatikan dan disinkronkan. Keahlian yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu tidak menjamin kompetensinya untuk memecahkan masalah multi kompleks. Dampak Pengangkatan Gubernur yang di pilih melalui Presiden di tinjau dari teori Demokrasi

RUU DKJ usulan inisiatif DPR RI, Pasal 10, menyatakan bahwa Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKI Jakarta) akan dipimpin oleh seorang gubernur yang dibantu oleh wakil gubernur. Gubernur dan wakil gubernur ini akan ditunjuk, diangkat, dan dapat diberhentikan oleh Presiden dengan mempertimbangkan usul atau pendapat DPRD. Secara hukum, pengaturan mengenai suksesi kepemimpinan DKI Jakarta yang terpisah dapat dianggap sebagai celah dalam regulasi. Prosedur pengangkatan gubernur DKI Jakarta menciptakan proses yang minim atau bahkan tidak memperhitungkan partisipasi langsung masyarakat. Dalam praktiknya, penerapan kebijakan ini berpotensi menimbulkan pro dan kontra yang signifikan. Pengangkatan gubernur DKI Jakarta oleh presiden akan mengurangi kesempatan bagi rakyat DKI Jakarta untuk berpartisipasi langsung dalam pemilihan kepemimpinan mereka sendiri. Lebih lanjut lagi, hal ini berarti bahwa rakyat DKI Jakarta tidak memilikihak suara dalam pemilihan kepala daerah di tingkat eksekutif, seperti halnya walikota dan bupati di daerah-daerah lain di Indonesia, yang pejabatnya diangkat oleh gubernur DKI Jakarta. Situasi ini menciptakan keadaan di mana masyarakat DKI Jakarta hanya dapat memilih anggota DPRD DKI Jakarta. Dengan adanya pengangkatan gubernur DKI Jakarta oleh presiden, potensi untuk timbulnya konflik sosial dan ketidak stabilan ekonomi meningkat, karenakurangnya partisipasi langsung masyarakat dalam proses pemilihan gubernur.

Landasan hukum untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dipengaruhi oleh perubahan politik yang memengaruhi pola kegiatan, distribusi kekuasaan, dan perilaku kepemimpinan Kepala Daerah. Sejak UU No. 1 Tahun 1945 hingga UU No. 12 Tahun 2008, ketentuan normatif yang mengatur sistem pemerintahan daerah telah mengatur peran, tugas, fungsi, kewajiban, dan persyaratan bagi Kepala Daerah. Jabatan Kepala Daerah dianggap sebagai jabatan politik, seperti yang ditunjukkan dengan adanya pemilihan bupati yang pesertanya berasal dari partai politik yang dipilih oleh rakyat melalui partai tersebut. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Daerah dibantu oleh perangkat teknis untuk melaksanakan fungsi administratif, kepemimpinan, pembinaan, pelayanan, dan tugas-tugas lainnya yang menjadi tanggung jawabnya. Efektivitas pencapaian tujuan organisasi pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh kemampuan, kompetensi, dan kinerja Kepala Daerah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya.

Pengangkatan gubernur oleh Presiden dianggap kurang demokratis dan rentan terhadap tantangan hukum. Sebagaimana dijelaskan oleh Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari, penunjukan gubernur tidak dilakukan secara transparan kepada publik dan tidak ada kejelasan dalam peraturan Kemendagri. Titi Anggraeni, anggota Dewan Pembina Perludem, juga berpendapat bahwa Kemendagri seharusnya mengatur mekanisme pelaksanaan pemilihan gubernur secara demokratis untuk memastikan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses penunjukan calon gubernur.

Penerbitan aturan ini dianggap penting untuk menegaskan komitmen pemerintah kepada masyarakat bahwa pengangkatan gubernur dilakukan tanpa kecenderungan politis atau transaksional, dan lebih melibatkan masyarakat dalam menentukan kriteria atau nama calon gubernur yang akan diangkat.

Polemik yang muncul dimasyarakat terkait penunjukan langsung gubernur oleh presiden mencerminkan kekhawatiran akan proses penunjukan yang kurang melibatkan daerah. Pro dan kontra terkait kebijakan ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah pusat bahwa ada kebutuhan untuk memperbaiki proses penunjukan kepala daerah. Sistem politik yang dikembangkan pada masa Orde Baru menunjukkan adanya sentralisme yang kuat, di mana semua keputusan politik terpusat di Jakarta, terutama dalam keputusan Presiden Soeharto. Sentralisme ini berdampak pada sistem pemilihan kepala daerah yang juga sentralistik, di mana masyarakat dan pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk memilih kepala daerah mereka sendiri. Peran dominan pemerintah pusat, khususnya Presiden, dalam menentukan siapa yang menjadi kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk DKI Jakarta, terlihat jelas dalam UU No. 18 Tahun 1965 yang mengatur bahwa kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri berdasarkan calon-calon dari DPRD. Dalam pemilihan Gubernur yang ditunjuk langsung oleh presiden memiliki pertententangan pada konsep Demokrasi yaitu;

a. Masyarakat Tidak Mengenal Kepala Daerah
Tentunya dengan hal ini memiliki dampak negatif dari penetapan calon gubernur tersebut, seperti masyarakat tidak mengenal bagaimana kepala daerahnya yang akan dipilih, sehingga masyarakat buta terhadap pemimpinnya dan sebagai sarana partisipasi politik masyarakat untuk menggunakan hak demokratisnya, yakni dipilih dan memilih.

b. Kurangnya Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam proses politik sangat penting sebagai elemen kunci dalam good government, yang dilihat sebagai langkah awal dalam reformasi tahun 1998. Partisipasi politik merupakan ciri penting dari modernisasi politik, di mana warga negara memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan keputusan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh presiden berpotensi mengurangi partisipasi politik masyarakat.

c. Menghilangkan nilai demokrasi di daerah
Dampak yang dilihat dari sisi demokrasi, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh presiden akan menghilangkan nilai demokrasi yang sebenarnya. Secara teoritis, urgensi tidak sesuai yang diterapkannya sistem Pilkada Langsung atau Perppu No 1 Tahun 2014. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung bagi para Kepala Daerah (Local government head) dan para anggota DPRD (Local Representative Council ), dengan pemlihan yang tidak Demokratis menghilangkan terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsive. Hal ini merupakan dampak negatif bagi daerah yang sebelumnya melakuan pemilihan dengan Demokratis.

d. Memberikan Legitimasi Rendah Kepala Daerah Terpilih
Dampak selanjutnya juga akan dirasakan oleh Kepala Daerah terpilih adalah memiliki legitimasi Kepala daerah terpilih dapat menghadapi legitimasi yang rendah karena dipilih melalui proses yang tidak demokratis. Legitimasi dianggap penting dalam konteks pemerintahan daerah karena mencerminkan dukungan masyarakat terhadap pemerintah mereka, yang esensial untuk perkembangan pemerintahan ke depan. Pemilihan kepala daerah secara tidak demokratis berpotensi merendahkan legitimasi kepala daerah yang terpilih dimata masyarakat.

KESIMPULAN
konsep demokrasi sebagai sistem pemerintahan di mana rakyat memiliki kekuasaan politik dan membuat keputusan melalui pemilihan mereka sendiri dan perwakilan. Demokrasi memungkinkan orang untuk memiliki kebebasan politik dan kesetaraan serta berpartisipasi aktif dalam pembuatan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Prinsip-prinsip dasar demokrasi diuraikan sebagai berikut. Konstitusi sebagai dasar pemerintahan negara yang menjamin hak rakyat dan membatasi wewenang penguasa Perlindungan hak asasi manusia merupakan komponen penting dari negara demokratis. Kemungkinan bagi setiap orang untuk berbicara dan berserikat secara bebas. Pembatasan otoritas melalui pemilihan umum yang adil dan jujur untuk mencegah penyalah gunaannya Peradilan tidak terpengaruh oleh pihak lain untuk menegakkan hukum secara adil. hukuman yang digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kebebasan media sebagai alat untuk berkomunikasi antara pemerintah dan rakyat.

Pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Di Indonesia, pemilu dilakukan setiap lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam hukum dan praktik politik Indonesia, sangat penting bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004, “dipilih secara demokratis” berarti rakyat memilih mereka. Ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, yang dihubungkan dengan Pasal 18B ayat (1), yang mengacu pada pengakuan entitas pemerintahan daerah istimewa. Proses pengisian jabatan kepala daerah dianggap sebagai ukuran demokratisasi negara, di mana partisipasi politik rakyat dalam pemilihan pemimpin mencerminkan kepentingan antara rakyat dan mereka yang dipilih. Legitimasi pemerintahan adalah bagian penting dari sistem politik, dimana otoritas yang dipegang dianggap sah hanya jika dilakukan sesuai dengan standar yang diakui secara luas.

Beberapa bentuk legitimasi yang ditemukan dalam teori legitimasi eliter termasuk aristokratis, pragmatis, ideologis, dan teknokratis. Semua ini berfungsi untuk berbagai cara kekuasaan dapat dianggap legal dan diterima masyarakat. penunjukan gubernur oleh presiden mengakibatkan masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengenal calon kepala daerah mereka. Hal ini menyebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan tentang pemimpin mereka, yang seharusnya menjadi bagian dari hak demokratis masyarakat untuk memilih dan dipilih. Partisipasi masyarakat adalah elemen penting dalam demokrasi dan good governance. Penunjukan gubernur oleh presiden dapat mengurangi partisipasi politik masyarakat, mengabaikan hak mereka untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka. Partisipasi masyarakat juga merupakan tanda modernisasi politik yang memungkinkan warga negara untuk terlibat aktif dalam pemerintahan. Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh presiden merusak nilai-nilai demokrasi di tingkat lokal. Sistem ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menekankan pada akuntabilitas dan responsivitas pemerintah daerah.

Dengan demikian, pemilihan yang tidak demokratis ini menghilangkan kesempatan bagi pemerintahan daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Kepala daerah yang dipilih melalui proses non-demokratis cenderung memiliki legitimasi yang rendah di mata masyarakat. Legitimasi adalah persepsi bahwa tindakan pemerintah sesuai dengan norma, nilai, dan kepercayaan sosial. Rendahnya legitimasi mengurangi dukungan masyarakat terhadap pemerintah daerah, yang dapat mempengaruhi stabilitas dan efektivitas pemerintahan. Kepala daerah yang tidak melalui pemilihan langsung juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan penuh dari rakyat

Referensi
Bakri, T. (2024). Pilkada DKI 2024 dan Masa Depan Jakarta. Jurnal Demokrasi.
Kirana, A. N., Patricia, L., Wijaya, M., Davinia, S., & Febriyanti, V. (2023). Krisis DemokrasiI Akibat Pengangkatan Pejabat Gubernur DKI Jakarta Tanpa Suara Rakyat. Jurnal Serina Sosial Humaniora. Diambilkembali dari https://r. search.yahoo.com/_ylt=AwrKASZJ_HJmXfwJcwHLQwx.;_ylu=Y29sbwNzZzMEcG9zAzMEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1718840522/RO=10/RU=https%3a%2f%2fjournal.untar.ac.id%2findex.php%2fJSSH%2farticle%2fview%2f25324%2f15140/R K=2/RS=mIuJuJnDRcuami0VUUxdS4fNXRA-
Mokodompit, A. N. (2020). Perbandingan MekanismePemberhentian KepalaDaerahPasca
ReformasiDitinjau dari UUNO.22/1999, UUNO.32/2004 & UUNO.23/2014.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Diambilkembali dari
https://dspace.uii. ac.id/bitstream/handle/123456789/26842/15410007%20Agrian%20Nov aldi%20Mokodompit.pdf?sequence=1
Noviati, C. E. (2013). Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. JurnalKonstitusi.
https://jptam .org/index.php/jptam/article/view/6003
Problematika Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah sebagai Dampak Penetapan Pilkada Serentak Tahun 2024. (2024). Jurnal HukumBisnis.

Ramdani, D. (2022). Problematika Penunjukan Penjabat KepalaDaerahPadaMasa Transisi Pilkada Serentak Nasional Tahun 2024. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Diambilkembali dari
https://r.search.yahoo.com/_ylt=AwrKCWWv_XJmNygJfXzLQwx.;_ylu=Y29sbwNzZzMEcG9zAzEEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1718840880/RO=10/RU=https%3a%2f%2fdspace.uii.ac.id%2fbitstream%2fhandle%2f123456789%2f40794%2f20912009.pdf %3fsequence%3d1/RK=2/RS=LNLAIXP_HXdQxktlSl
Razak,A. (15 Desember 2023). Penunjukan Gubernur oleh Presiden dalam Wacana RUU. Unes Law Refiew, 6250.
Razak,A. (2023, desember 15). Penunjukan Gubernur oleh Presiden dalam Wacana RUU. Unes Law Riview, hal. 6250.
Razak,A. (2023). Penunjukan Gubernur oleh Presiden dalam Wacana RUU Daerah Khusus Jakarta: Kontroversidan Orientasi. Jurnal Tinjauan Hukum UNES.

The post Analisis RUU DKJ terkait pengangkatan Gubernur yang dipilih Melalui Presiden ditinjau dari Teori Demokrasi appeared first on JurnalPost.

SOURCE

viral

Share
Published by
viral

Recent Posts

TikTok Rilis Fitur Meditasi Malam Hari untuk Bantu Pengguna Tidur Lebih Nyenyak

GadgetDIVA - TikTok kini tidak hanya dikenal sebagai platform video hiburan, tapi juga mulai serius…

2 jam ago

Dilema Kesetiaan – Review “Legends of the Condor Heroes: The Gallants” (2025)

Ketika Jurus Silat, Cinta, dan Kesetiaan BertabrakanReview Film "Legends of the Condor Heroes: The Gallants"…

7 jam ago

Optimalkan Potensi Pariwisata di Geopark Ijen, Bondowoso

Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Optimalkan Potensi Pariwisata di Geopark…

7 jam ago

Perkuat Manajemen Wisata Teduh Glamping Sumber Wringin

Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Perkuat Manajemen Wisata Teduh Glamping…

7 jam ago

Polisi Tangkap 10 Pemuda Tawuran di Jakut, Celurit hingga Molotov Disita

Jakarta – Tim Patroli Perintis Presisi Direktorat Samapta Polda Metro Jaya menangkap 10 pemuda tawuran…

10 jam ago

Premanisme Ganggu Bisnis Siap-siap Ditumpas Habis

Jakarta – Masalah premanisme akhir-akhir ini menjadi persoalan di sejumlah wilayah di Indonesia. Pemerintah berjanji…

10 jam ago