Transformasi Asia Barat sepekan terakhir diwarnai sejumlah isu penting di antaranya mengenai respon rezim Zionis setelah penembakkan rudal Iran ke markas Mossad di Erbil.
Selain itu, rezim Zionis menyampaikan permintaan kepada AS mengenai IRGC, seluruh situs kementerian rezim Zionis lumpuh, parlemen Irak mendesak Baghdad menjelaskan keberadaan Mossad di Erbil, Al Saud mengeksekusi mati 81 orang, dan Ansarullah menolak menghadiri pertemuan P-GCC di Riyadh.

Militer Rezim Zionis Khawatirkan Kelanjutan Serangan Balasan Iran
Pakar militer rezim Zionis mengatakan pasukan Israel saat ini dalam kondisi siaga setelah Iran mengancam akan melakukan pembalasan atas gugurnya dua perwira IRGC di Suriah.
Televisi Almayadeen hari Senin (14/3/2022) melaporkan, Roi Sharon, analis militer media Israel, KAN mengatakan, “Hari ini kita akan melalui fase tegang dengan banyaknya ancaman dari penembakan drone dari Iran dan melalui sekutunya dari Yaman dan Irak. Hal ini akan menyebabkan kita tidak bisa tidur nyenyak,”.
Analis militer televisi saluiran 12 Israel, Nir Dafori mengungkapkan, “Israel berada dalam siaga tinggi untuk waktu yang lama, karena Iran ingin membalas dendam. Mungkin kita akan melihat terulangnya serangan seperti itu dalam waktu dekat,”.
Mengenai target serangan rudal Iran ke wilayah Kurdistan Irak kemarin, Amos Yadlin, mantan kepala badan kontra-intelijen tentara Israel menjelaskan bahwa Iran tidak menargetkan Amerika di Erbil, tetapi Israel.
Hubungan Publik Korps Garda Revolusi Islam Iran dalam sebuah pernyataan pada 8 Maret 2022 mengumumkan dua anggotanya gugur dalam serangan roket rezim Zionis di pinggiran Damaskus.
Korps Pengawal Revolusi Islam menekankan bahwa rezim Zionis pasti akan membayar kejahatan ini. Pada hari Minggu, Direktorat Jenderal Hubungan Publik Korps Garda Revolusi Islam dalam sebuah pernyataan mengumumkan pihaknya hari Minggu menembakkan sejumlah rudal ke Pusat Strategis Zionis di Erbil, wilayah Kurdistan Irak tepat mengenai sasaran.

Permintaan Rezim Zionis ke AS soal IRGC
Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Rezim Zionis Israel, meminta nama Korps Garda Revolusi Islam Iran, IRGC tidak dihapus dari daftar organisasi teroris Amerika Serikat.
Kabar spekulatif terkait keputusan AS untuk menghapus nama IRGC dari daftar organisasi teroris negara ini, ternyata membuat Rezim Zionis khawatir.
Naftali Bennett, PM, dan Yair Lapid, Menlu Israel, Jumat (18/3/2022) dengan menunjukkan ketidakberdayaannya menghadapi Iran, meminta pemerintah AS tidak menghapus nama IRGC dari daftar organisasi teroris.
Dalam pernyataan bersamanya, Bennett dan Lapid menuturkan, “IRGC adalah organisasi teroris yang membunuh ribuan orang termasuk orang Amerika. Bagi kami sulit untuk mempercayai bahwa AS menghapus definisinya tentang IRGC sebagai sebuah organisasi teroris.”
Ditambahkannya, “IRGC adalah Hizbullah Lebanon, Jihad Islam di Gaza, Houthi di Yaman, dan milisi bersenjata di Irak.”
“Upaya menghapus definisi IRGC sebagai organisasi teroris adalah penghinaan terhadap para korban, dan membantah sebuah realitas yang punya bukti tak terbantahkan. Sulit bagi kami untuk mempercayai pencabutan definisi IRGC sebagai sebuah organisasi teroris dengan janji tidak akan menyerang orang-orang AS,” pungkasnya.

Seluruh Situs Kementerian Rezim Zionis Lumpuh
Sumber rezim Zionis Israel mengabarkan, seluruh situs Kementerian rezim ini lumpuh, dan tidak bisa diakses. Namun sampai sekarang penyebab gangguan tersebut masih belum diketahui.
Stasiun televisi Al Mayadeen, Senin (14/3/2022) mengutip media Israel melaporkan, seluruh situs Kementerian rezim Zionis mengalami gangguan luas, dan pemerintah Zionis tidak bisa membuka satu pun situs mereka.
Surat kabar Haaretz mengabarkan, beberapa situs pemerintah Tel Aviv dihack, dan situs Kementerian Dalam Negeri, Kesehatan, Kehakiman, Kesejahteraan, dan Kantor Perdana Menteri tidak bisa diakses.
Sehubungan dengan ini perusahaan teknologi Cyberizen menuduh Iran dengan bantuan kelompok-kelompok pendukungnya, meretas puluhan situs instansi rezim Zionis.
Menurut Cyberizen, target Iran dengan melakukan serangan ini adalah upaya spionase untuk mendapatkan informasi-informasi sensitif, dan menciptakan kekacauan di wilayah pendudukan, serta memukul instansi-instansi Zionis.
Cyberizen menjelaskan, kelompok hacker Tongkat Musa adalah kelompok yang berasal dari Iran, dan untuk pertama kalinya dikenali pada Oktober 2021, tujuan mereka adalah menyerang instansi-instansi rezim Zionis.

Parlemen Irak: Baghdad Harus Jelaskan Keberadaan Mossad di Erbil
Anggota Parlemen Irak mengatakan, tidak ada keraguan terkait kehadiran para Zionis di kota Erbil, Wilayah Kurdistan, dan Perdana Menteri Irak harus menjelaskan keberadaan Mossad di Erbil.
Ahmed Al Musawi, anggota Fraksi Al Sadiqoun di Parlemen Irak, Selasa (15/3/2022) seperti dikutip situs Al Malooma menuturkan, “Parlemen Irak berkewajiban untuk meminta penjelasan dari PM Mustafa Al Kadhimi dan pejabat Wilayah Otonomi Kurdistan terkait kehadiran Mossad di Erbil.”
Ia menambahkan, “Sebagian besar orang yang berpura-pura mencemaskan kedaulatan Irak, sebenarnya mengkhawatirkan terungkapnya kehadiran Zionis di Kurdistan, realitasnya tidak ada orang yang meragukan kehadiran rezim Zionis di Kurdistan.”
Menurut Ahmed Al Musawi, rezim Zionis karena takut Wilayah Kurdistan ikut terseret, maka ia tidak bisa mengakui bahwa markasnya sudah dibombardir IRGC, dan kehadiran Zionis di kawasan menggunakan kedok perusahaan dan investor.

Al Saud Eksekusi Mati 81 Orang
Masyarakat dan warganet Arab Saudi mengecam eksekusi mati terhadap 81 orang, termasuk 41 warga Muslim bermazhab Syiah, dan menyebut tindakan ini sebagai pembunuhan massal terhadap orang-orang yang tak berdosa.
Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi pada hari Sabtu (12/3/2022) mengeksekusi 81 orang dalam satu hari. Aksi ini merupakan kelanjutan pelanggaran atas hak asasi manusia di negara Arab itu.
Di antara mereka yang dieksekusi adalah 41 pemuda Arab Saudi dari kota Qatif, tujuh warga negara Yaman dan satu warga Suriah. Aparat keamanan Arab Saudi menangkap dan memenjarakan mereka dengan berbagai dalih.
Para pengguna Twitter dan netizen Arab Saudi mengungkapkan kemarahan mereka pada otoritas negara ini atas eksekusi 81 orang tersebut.
Mereka menulis, yang terjadi adalah pembantaian orang-orang tak bersalah yang persidangan mereka tidak memenuhi persyaratan minimum keadilan.
Pengguna jejaring sosial Arab Saudi mengecam lembaga peradilan dan Jaksa Agung karena mematuhi keinginan Putra Mahkota Arab Saudi untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dan membuat tuduhan palsu terhadap mereka.
Situs Gerakan untuk Perubahan dan Kebebasan Arab Saudi juga mengutuk tindakan rezim Al Saud dan menegaskan, sejak Muhammad bin Salman berkuasa dan menjadi Putra Mahkota pada Juni 2017, ia telah memberikan lampu hijau kepada orang-orangnya untuk menetapkan pembunuhan dan eksekusi mati sebagai kebijakan pemerintah guna menghabisi lawan-lawan politik.
Organisasi hak asasi manusia internasional menyebut rezim Arab Saudi menggunakan hukuman mati untuk melenyapkan lawan-lawan politiknya. Selama bertahun-tahun, puluhan oposisi dihukum mati atas tuduhan tidak berdasar.
Organisasi Hak Asasi Manusia Eropa-Arab Saudi mengkonfirmasi dalam sebuah laporan pada Januari lalu bahwa rezim Al Saud telah mengeksekusi 67 orang pada tahun 2021, naik dari 27 orang pada tahun 2020.

Ansarullah Tolak Hadiri Pertemuan P-GCC di Riyadh
Ansarullah Yaman menolak permintaan dari Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) untuk menghadiri pertemuan di Riyadh.
Tampaknya, penolakan ini memiliki beberapa alasan. Pertama, Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) belum menjadi pemain netral dalam krisis Yaman, tetapi selalu berpihak pada kubu Abd Rabbuh Mansur Hadi yang didukung Arab Saudi dan sekutunya, terutama Uni Emirat Arab (UEA). Oleh karena itu, Dewan Kerja Sama Teluk Persia pada dasarnya hanya perpanjangan tangan dari kepentingan Arab Saudi dan UEA, dan tidak dapat merepresentasikan pihak-pihak yang terlibat konflik di Yaman.
Kedua, pemilihan Riyadh sebagai tempat pertemuan Dewan Kerja Sama Teluk Persia yang akan mengundang Ansarullah, jelas dilakukan di tempat yang tidak netral, karena Arab Saudi bagian dari aktor yang menjadi penyebab krisis Yaman itu sendiri.
Dalam hal ini, Mohammad Ali al-Houthi, anggota senior biro politik gerakan Ansarullah Yaman menyampaikan poin penting dengan mengatakan, “Apa yang dikatakan di media tentang undangan Dewan Kerja Sama Teluk [Persia] untuk berbicara, pada kenyataannya mewakili permintaan Riyadh. Padahal Arab Saudi sendiri adalah pihak yang berperang, bukan mediator.”
Pandangan senada ditegaskan Menteri luar negeri Yaman, Hisham Sharaf yang mengungkapkan, “Dewan Kerja Sama Teluk [Persia], Abu Dhabi dan Riyadh, yang menjadi tuan rumah pertemuan ini, adalah penyebab utama perang dan blokade Yaman. Maka tidak rasional untuk menengahi krisis ini,”.
Posisi Ansarullah dan Pemerintahan Penyelamatan Nasional Yaman menolak undangan Riyadh untuk menghadiri pertemuan Dewan Kerja Teluk Persia sebagai sikap yang rasional, karena negosiasi akan membuahkan hasil bila ada kemauan untuk meredam krisis dari kedua pihak. Sebab, ketika koalisi Saudi terus melakukan pengeboman dan blokade Yaman setiap hari, maka setiap pembicaraan apapun akan sia-sia belaka.
Sebagaimana ditegaskan Menlu Yaman, “Arab Saudi dan UEA harus membuka kembali bandara Sanaa, mengurangi blokade untuk memasok produk minyak dan gas, serta menghentikan serangan terhadap Yaman sebelum dilakukan penyelesaian politik apa pun”. (PH)