

Jakarta –
Jagat bernalar dalam interaksi sosial masyarakat kita seolah tak pernah hilang gemuruh. Selalu dinamis, bersahutan dalam pro dan kontra. Tiada henti seolah tak habis energi. Terakhir soal seorang penceramah warga negara Indonesia yang ditolak masuk ke Singapura. Isunya merebak dan menjadi perbincangan luas di beragam platform media.
Sebagai negara berdaulat, tentu Singapura berkuasa sepenuhnya untuk menerima maupun menolak siapa pun memasuki wilayahnya. Itu patut dihormati. Terlepas di dalam negeri kita keputusan itu memicu beragam reaksi masyarakat. Silang sengkarut pandangan. Apakah semua hiruk pikuk semacam itu sungguh sangat perlu? Selalu dapat terjadi di dalam masyarakat kita dengan beragam sebab yang dapat menjadi pemicunya?
Dalam tulisan di Kolom Detik pada tanggal 2 April 2022 saya menyebutkan bahwa masyarakat akar rumput kita sangat rentan terhadap sesat informasi. Memiliki karakter respons cepat dengan memori pendek atas suatu peristiwa. Gemar meneruskan pesan dan tautan media sosial tanpa melakukan filter lalu mudah pula melupakannya tanpa mempertimbangkan dampak dari perbuatan itu. Seolah tidak memiliki gentong penyangga pertimbangan kritis sebelum mengambil keputusan.
Pada berbagai peristiwa, keadaan itu secara cerdik dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Mereka yang berkepentingan untuk memetik manfaat dengan memicu polemik dan pengutupan persepsi antar kelompok dalam masyarakat. Dalam skala yang lebih besar polemik dan pengutuban semacam itu bahkan dapat memicu gerakan massa yang besar. Salah satu hikmah dari gelaran peristiwa pemilihan gubernur DKI beberapa tahun silam tak terlepas dari hal seperti itu. Bahwa kemampuan untuk mengenal kebenaran dalam sajian peristiwa apa pun merupakan hal yang sangat penting untuk kebaikan masyarakat banyak. Lebih jauh bahkan berpengaruh terhadap kokohnya nilai-nilai yang mendewasakan demokrasi kita. Bagaimana ilmu pengetahuan mengurai mekanisme sebaran informasi semacam ini?
Aliasing dan Cacat Modulasi
Dalam perspektif digital informasi itu dikirimkan melalui mekanisme yang disebut modulasi. Secara sederhana dapat dianalogikan dengan proses dan mekanisme seseorang menitipkan barang ke kurir untuk disampaikan ke penerima di titik tujuan tertentu. Dalam cara seperti itu pula paket informasi ditambatkan pada gelombang pembawa pada frekuensi tertentu secara digital.
Proses menambatkan itulah yang disebut dengan modulasi. Ada pun mekanisme yang lazim untuk menambatkannya disebut dengan konvolusi. Itulah sebabnya mengapa suara penyiar, alunan musik bahkan video dapat diindera pada bentang frekuensi pembawanya yang notabene bernilai jauh di atas jangkauan frekuensi audio.
Lantas dimana pangkal sesatan informasi dapat dimunculkan? Terdapat setidaknya dua mekanisme sederhana yang dapat dilakukan. Baik untuk diketahui bahwa dalam setiap proses menambatkan informasi dalam modulasi gelombang selalu didahului dengan proses pencacahan atau sampling secara digital. Laju pencacahan ini sangat menentukan kualitas dan kelengkapan detil informasi yang terampaikan. Semakin tinggi laju pencacahannhya, semakin tinggi kualitas informasi yang disajikan. Kaidahnya diatur menurut syarat Nyquist.
Artinya jika fakta atau peristiwa dicuplik dalam jumlah yang tidak memadai, maka rekonstruksinya akan menghasilkan sesatan makna fakta dan atau peristiwa yang pasti berbeda dengan kenyataan sesungguhnya. Konstruksi fakta seperti ini disebut dengan aliasing.
Para penyebar kebohongan yang gemar memelintir kebenaran fakta berada pada posisi yang analog dengan mekanisme pencacahan seperti itu. Tidak menyajikan fakta secara komprehensif untuk tujuan dan atau keuntungan pribadi maupun kelompoknya. Cara lain yang lazim terjadi adalah kala seseorang pembawa pesan menambahkan persepsi subyektifnya ke dalam konten informasi yang ia sebarkan. Seperti halnya sesatan informasi karena cuplikan yang tidak benar, tambahan persepsi subyektif juga menghadirkan rekonstruksi informasi yang pasti berbeda dengan fakta sesungguhnya. Dalam perpekstif pengolahan sinyal secara digital dikenal sebagai output added noise. Dampak dari keduanya sama saja yakni sajian peristiwa yang diklaim sebagai fakta namun sejatinya merupakan kebohongan.
Siapa yang paling menderita dari sesatan informasi semacam ini? Tentu saja kita semua dan utamanya kaum di lapisan akar rumput bangsa kita. Mereka yang sejatinya jujur, sederhana dan tulus menjadi perpanjangan tangan yang menguntungkan para penghasut. Menjadi korban tanpa mereka sadari. Itu terjadi karena gentong pemahaman pengetahuan masyarakat awam pasti berada jauh di bawah kapasitas penguasaan pengetahuan mereka para pelaku sebaran kebohongan. Penguasaan pengetahuan menghadirkan kemampuan untuk mendefinisikan dan mengarahkan respon yang diinginkan. Membentuk tindakan.
Adapun pemahaman pengetahuan merupakan ukuran daya seseorang atau kaum untuk beresonansi dengan fakta yang direkonstruksikan sebagai kebenaran kepada mereka. Maka tidak mengherankan jika master mind dari setiap gerakan massa yang berskala besar selalu merupakan sosok yang memiliki kapasitas intelektual mumpuni.
Kedua ragam sesat informasi yang tersaji di atas menunjukkan kepada kita bahwa kebohongan itu dapat terjadi dalam beragam cara. Pertama, informasinya yang memang tidak lengkap sementara penyaji hanya betsifat sebagai pembawa. Kedua, bisa saja informasi semula merupakan fakta yang lalu disesatkan dengan tambahan persepsi personal si penyaji.
Yang paling berbahaya adalah jenis ketiga kala informasi yang disesatkan sajak semula dibumbui dengan persepsi personal penyajinya. Ragam ketiga ini umumnya bersifat provokatif dan berbahaya. Sajiannya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berkategori pembicara efektif dan kharismatik. Dihormati dan umumnya mereka memiliki pengikut serta pengagum dalam jumlah besar.
Sisi baiknya adalah bahwa dunia digital bukanlah ranah yang memiliki toleransi terhadap kebohongan. Artinya, selalu ada jalan cerdas untuk menguji kebenaran fakta dan jejak digital siapa pun. Sehebat apapun kebohongan dikemas dan disembunyikan pasti akan terkuak. Maka sangat bijak bagi setiap anak bangsa kita untuk hanya menyebarkan kabar kebenaran. Kita meyakini bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu diciptakan Allah Tuhan Yang Maha Esa dengan kebenaran. Jika iman kita sungguh telah yakin demikian, maka pasti menebar kebohongan itu bukan pilihan bagi siapa pun. Bukankah demikian?
Iwan Yahya. Dosen dan Peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
(rdp/rdp)