Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Proyek Besar Ketahanan Pangan, Di Mana Posisi Petani Kecil?
JurnalPost.com – Dalam pidatonya mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 124,4 triliun untuk program ketahanan pangan. Anggaran ini diarahkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan, serta memperbaiki akses pembiayaan bagi petani. Angka ini naik Rp 10 triliun dari anggaran tahun 2024, yang berada di kisaran Rp 114,3 triliun. Namun, di balik investasi besar ini, muncul pertanyaan penting: apakah dana tersebut benar-benar menyentuh akar masalah kesejahteraan petani kecil? Ataukah anggaran ini hanya berfokus pada program-program besar yang tidak relevan bagi petani kecil?
Di satu sisi, program ini terlihat ambisius dengan fokus pada pembangunan infrastruktur, seperti irigasi dan lumbung pangan. Secara teori, ini memang penting untuk meningkatkan produktivitas dan stabilitas harga pangan. Namun, apakah petani kecil yang berkontribusi besar terhadap produksi pangan nasional akan mendapatkan manfaat langsung dari investasi ini? Dalam banyak kasus, anggaran besar sering kali habis dihabiskan untuk proyek-proyek skala besar yang terpusat di wilayah tertentu, sementara petani kecil yang tersebar di berbagai pelosok tidak merasakan dampak signifikan. Fakta ini mengundang kritik bahwa kebijakan yang dibentuk tampak lebih menguntungkan korporasi besar daripada para petani kecil yang sesungguhnya berada di garda terdepan ketahanan pangan.
Salah satu contoh nyata dari ketidakseimbangan ini adalah program food estate di Kalimantan dan Sumatera. Proyek ini diharapkan dapat menjadi lumbung pangan besar yang meningkatkan produksi dan menjaga stabilitas pangan nasional. Namun, laporan dari lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar lahan yang digunakan untuk food estate diambil dari
petani kecil atau masyarakat adat yang selama ini mengandalkan lahan tersebut untuk mata pencaharian mereka. Alih-alih memperkuat ketahanan pangan, proyek ini justru menggerus hak-hak petani kecil, sementara keuntungan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan besar yang mengelola lahan tersebut. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa kebijakan besar tidak selalu berpihak pada kesejahteraan petani kecil, meskipun dicanangkan atas nama ketahanan pangan.
Peningkatan produktivitas memang penting untuk menjamin ketahanan pangan nasional, tetapi produktivitas yang meningkat tanpa diimbangi dengan perbaikan kesejahteraan petani hanya akan memperbesar jurang kesenjangan. Banyak petani kecil saat ini berjuang dengan harga hasil pertanian yang tidak stabil, biaya produksi yang tinggi, dan akses terbatas terhadap modal. Contohnya, petani beras di Jawa Timur sering kali mengalami ketidakstabilan harga jual beras yang jatuh saat panen raya, meskipun mereka diharapkan menjadi pilar ketahanan pangan nasional. Pada saat yang sama, harga pupuk dan bibit terus meningkat, sehingga beban petani semakin besar. Meski pemerintah menjanjikan akses pembiayaan yang lebih mudah, kenyataannya banyak petani kecil yang masih sulit mendapatkan modal murah dan sering terjerat utang dari tengkulak.
Kritik lainnya adalah ketidakjelasan alokasi anggaran pada aspek yang paling krusial bagi petani, seperti distribusi hasil pertanian dan harga yang adil. Meski disebutkan bahwa perbaikan rantai distribusi menjadi prioritas, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa masalah ini tidak mudah dipecahkan hanya dengan anggaran besar. Selama para tengkulak dan pelaku usaha besar masih mendominasi rantai distribusi, petani kecil tetap akan berada pada posisi tawar yang lemah. Pemerintah perlu lebih serius dalam membangun jaringan distribusi yang lebih transparan dan adil bagi para petani kecil, bukan sekadar memperkuat posisi pelaku usaha besar yang sudah mapan. Jika masalah ini tidak ditangani secara serius, kebijakan besar pemerintah hanya akan terus melanggengkan struktur ketidakadilan dalam rantai distribusi pertanian.
Selain itu, dalam program ketahanan pangan, sering kali pendekatan yang digunakan adalah top-down, dengan pemerintah mengarahkan kebijakan dari pusat tanpa melibatkan secara aktif petani kecil dalam pengambilan keputusan. Padahal, petani kecil memiliki pengetahuan lokal yang berharga dan pemahaman mendalam tentang kondisi pertanian mereka sendiri. Pendekatan bottom-up yang melibatkan petani dalam perencanaan dan pelaksanaan program akan jauh lebih efektif dalam memastikan anggaran yang besar ini benar-benar menjawab kebutuhan mereka. Dengan cara ini, kebijakan yang dihasilkan akan lebih relevan dan berdampak nyata pada kesejahteraan petani kecil. Keterlibatan langsung petani akan memastikan bahwa kebijakan yang dirancang tidak hanya berbasis data makroekonomi, tetapi juga pada realitas sosial ekonomi yang mereka hadapi setiap hari.
Evaluasi mendalam mengenai efektivitas anggaran ketahanan pangan dari tahun-tahun sebelumnya menjadi sangat penting. Apakah alokasi anggaran besar di tahun 2024, misalnya, berhasil meningkatkan kesejahteraan petani kecil secara signifikan? Jika tidak, di mana letak kesalahannya? Transparansi dalam penggunaan anggaran dan mekanisme pengawasan yang kuat sangat penting untuk memastikan bahwa dana benar-benar sampai kepada mereka yang paling membutuhkan. Banyak kebijakan pemerintah sebelumnya gagal dalam memastikan dana yang dianggarkan sampai kepada penerima manfaat yang tepat, sering kali karena kurangnya pengawasan dan akuntabilitas. Tanpa pengawasan yang baik, anggaran sebesar Rp 124,4 triliun ini berisiko hanya menjadi anggaran simbolis tanpa dampak nyata di lapangan. Apalagi, korupsi dan penyalahgunaan anggaran di berbagai sektor sering kali menjadi hambatan serius dalam mencapai tujuan kebijakan yang sesungguhnya.
Isu lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pemerintah akan memastikan bahwa alokasi anggaran ini mampu menjangkau daerah-daerah terpencil yang sering kali terabaikan dalam program nasional. Petani-petani kecil di wilayah-wilayah pedalaman sering kali menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks, seperti keterbatasan akses terhadap pasar, pendidikan, dan teknologi. Tanpa perencanaan yang matang untuk merespons kebutuhan spesifik di wilayah-wilayah tersebut, ada risiko bahwa anggaran besar ini hanya akan meningkatkan kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Oleh karena itu, distribusi yang adil dan merata dari manfaat kebijakan ini sangat penting agar tidak ada kelompok petani yang tertinggal.
Pada akhirnya, pemerintah perlu memahami bahwa ketahanan pangan yang sejati tidak hanya tentang produksi yang melimpah atau harga pangan yang stabil. Ketahanan pangan juga harus mencakup kesejahteraan petani, terutama petani kecil yang merupakan tulang punggung sektor pertanian di Indonesia. Jika ketahanan pangan terus dikejar tanpa memperhatikan kesejahteraan petani, maka kita hanya akan memperkuat ketimpangan dalam sistem pangan kita. Keseimbangan antara ketahanan pangan dan kesejahteraan petani adalah kunci untuk mencapai pertanian yang berkelanjutan, di mana produktivitas meningkat seiring dengan peningkatan taraf hidup petani.
Penulis: Intan Nur Khasanah
Mahasiswa S1 Fakultas Pertanian Instansi: Universitas Gadjah Mada
The post Proyek Besar Ketahanan Pangan, Di Mana Posisi Petani Kecil? appeared first on JurnalPost.