Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
JurnalPost.com – Pada 2013 ada sebuah buku bagus yang diterbitkan, berjudul Lean In: Women, Work, dan Will to Lead, ditulis oleh Sheryl Sandberg. Buku ini mendorong wanita untuk ‘lean in’ yang berarti menerima tantangan melakukan sesuatu dan berusaha keras untuk melakukannya demi kesuksesan, baik di tempat kerja maupun di rumah. Buku ini sudah terjual lebih dari 4 juta eksemplar. Apa yang membuatnya begitu sukses?
Dalam buku ini ditulis, antara lain, bahwa sebagian besar pria melamar pekerjaan ketika mereka hanya memenuhi 60% dari persyaratan. Tetapi bagi wanita, angka ini mencapai 100%. Artinya wanita tidak akan melamar pekerjaan kecuali mereka memenuhi 100% dari persyaratan, sementara pria cukup dengan memenuhi 60% saja. Banyak yang terkejut dan terinspirasi lewat fakta ini.
Meskipun data tersebut secara faktual berubah saban tahun dan pelbagai statistik membantahnya—sebab lebih didasarkan pada anekdot alih-alih bukti ilmiah—orang terus mengutipnya. Budaya perusahaan sering memandang tinggi aspek kepercayaan diri meskipun tidak berdasar; pria cenderung melebih-lebihkan kemampuannya dan wanita merendahkan dirinya sendiri. Jadi potensi pria untuk lebih dihargai lebih tinggi daripada wanita.
Sebuah laporan telah dirilis oleh McKenzie dan https://leanin.org/ tahun lalu menyebutkan bahwa untuk setiap 100 pria yang dipromosikan ke level manajer, hanya 87 wanita yang menerima peluang yang sama. Dengan kata lain, wanita tidak dipromosikan sebanyak pria. Ini bukan studi pertama yang menegaskan persoalan ini. Isu ketidaksetaraan memang nyata, dan ini bahkan diperkuat oleh sejumlah mitos yang berada di di baliknya.
Mereka yang membantah bahwa ketidaksetaraan tidak relevan mengatakan bahwa sudah banyak kemajuan yang dicapai atau diberikan kepada kaum hawa. Untuk itu, mari kita menoleh kepada statistik. Pada 2019, untuk setiap 100 pria hanya 72 wanita dipromosikan. Pada tahun 2021, untuk setiap 100 pria hanya 86 wanita dipromosikan. Lalu pada 2022 angka ini beringsut naik hingga 87. Jadi memang benar sudah ada kemajuan, tapi realitasnya masih getir dan menyedihkan.
Mengapa wanita tidak meminta promosi? Penelitian lain mengungkapkan bahwa wanita sudah melakukannya. Wanita meminta promosi pada tingkat yang sama dengan pria, namun diabaikan. Bahkan wanita lebih ambisius daripada pria sebelum pandemi, sekitar 80% wanita mengatakan mereka ingin promosi, sementara pada 2019 angka ini adalah 70%.
Sindiran lainnya adalah bahwa ambisi bukanlah segalanya, wanita mungkin tidak punya kinerja sebaik laki-laki. Lagi-lagi sebuah sebuah studi yang dirilis oleh MIT tahun lalu bahkan menunjukkan karyawan perempuan cenderung tidak dipromosikan dibandingkan karyawan laki-laki meskipun mereka punya kinerja lebih baik daripada karyawan laki-laki dan meskipun kemungkinannya mereka untuk berhenti bekerja lebih kecil daripada karyawan laki-laki.
Kesimpulannya; wanita berkinerja baik di tempat kerja, kadang-kadang bahkan mengungguli pekerja pria. Wanita lebih ambisius. Wanita sudah menyuarakan kebutuhan dan hak mereka untuk dipromosikan. Mereka melakukan hampir semua yang bisa diperbuat, tapi peluang promosi tetap saja kecil buat wanita.
Menurut Anda, mengapa itu terjadi? Hanya ada satu penjelasan. Ini menyangkut perbedaan tentang bagaimana pria dan wanita menerima promosi. Penelitian mengatakan pria dipromosikan berdasarkan potensi mereka, sementara wanita harus membuktikan bahwa mereka punya potensi. Jadi ini tentang potensi versus bukti. Ini bukan untuk mengatakan bahwa manajer perekrutan adalah semua pembenci wanita. Hanya saja memutuskan siapa yang harus dipromosikan bisa adalah perkara yang rumit.
Para kandidat harus menunjukkan mereka punya keterampilan yang hebat, bukan hanya pada level mereka saat ini. Manajer mereka juga harus percaya bahwa kandidat ini harus punya kinerja bagus dan beprestasi di tingkat berikutnya. Karenanya para manajer harus memperhatikan potensi kandidat dan ini tidak mudah ditunjukkan. Setiap orang bersinar dengan cara yang berbeda. Itu sangat subjektif dan meninggalkan ruang munculnya bias. Perlu dicatat bahwa bias di lingkungan kerja adalah isu yang sudah mendarah daging.
Karakteristik kepemimpinan, seperti ketegasan dan kekuatan, kerapkali dikaitkan dengan maskulinitas. Ditambah pria memiliki peran kepemimpinan mayoritas. Di seluruh industri secara global, peran perempuan dalam kepemimpinan hanya mencapai 31%. Jadi sulit dibayangkan bahwa kaum wanita akan tegak kokoh pada posisi kekuasaan. Banyak pekerja wanita yang menanggung beban dan tekanan ini. Mereka menghadapi skeptisisme yang akut dan berlarut-larut.
Lagi pula, bagaimana seseorang bisa membuktikan bahwa dia bisa menjadi manajer sampai dia menjadi seorang manajer? Tidak ada solusi langsung dan instan untuk masalah ini. Bias sosial tidak dapat dikikis dalam semalam, tetapi menggeser upaya pemilihan kepemimpinan lewat mekanisme penilaian yang kuat dan radikal dapat membantu. Jujur saja bahwa kesenjangan promosi itu nyata. Kita secara aktif harus memilih.
The post Promosi Wanita di Dunia Kerja appeared first on JurnalPost.