
JurnalPost.com – Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang laki-laki mempersatukan dirinya dengan seorang perempuan “untuk hidup bersama”. Oleh karena itu, perlu mempertimbangkan ketentuan hukum berbeda yang berlaku di negara tersebut. Tujuan utama perkawinan adalah menghasilkan keturunan serta membangun dan menjalankan keluarga berdasarkan cinta dan kasih sayang. Namun jika tujuan tersebut tidak tercapai, maka akan berakhir dengan perceraian. Setelah perceraian, pengasuhan anak seringkali terabaikan. Oleh karena itu, akibat dari bentuk perceraian ini, anak menjadi bingung dan liar, karena mereka menjadi bingung, takut, khawatir, malu, sedih dan seringkali diliputi perasaan dendam dan benci. Oleh karena itu, perceraian menjadi faktor penting munculnya kasus neurosis, perilaku asusila dan kebiasaan kriminal.
Adanya ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan dipertegas kmbali berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan bahwa kedua orang tua sama-sama memiliki kewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Sehingga dipahami bahwa ketentuan pasal tersebut tidak mengatur dengan tegas tentang siapa diantara bapak batau ibu yang diberi hak asuh untuk mengurus anak mereka.
Norma pengaturan hak asuh anak di bawah umur pada UU Perkawinan misalnya pada ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) dan juga terdapat pada ketentuan PP No. 9 Tahun 1975 pada Pasal 24 ayat (2) huruf b dan UU No. 4 Tahun 1979, sebagaimana ketentuan norma hukum terkait dengan penetapan hak asuh anak pada dasarnya dilakukan hanya untuk menentukan bersama siapa anak tersebut ikut tinggal dan akan diasuh, bukanlah suatu barang yang tidak dapat dieksekusi, maka setiap analisa atau penafsiran yang dilakukan oleh seorang hakim ditentukan untuk sebesar-besarnya kepentingan terbaik untuk anak terkait tersedianya jaminan dan kepastian terpenuhinya hak dari anak untuk melanjutkan kehidupannya secara baik untuk dapat tercapai dikemudian hari.
Ketentuan hak asuh anak menyebutkan bahwa dalam UU Perkawinan telah menggeser ketentuan yang sudah mapan sebelumnya yaitu hukum adat (matrilineal atau patrilineal), yang berhak dan mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak adalah disesuaikan dengan keberlakuan hukum adat. Akan tetapi hukum UU Perkawinan tersebut tidak memperjelas atau tidak mengatur dengan tegas tentang ketentuan hak asuh anak jika terjadi perceraian siapa antara bapak atau ibu yang diberi hak untuk mengasuh anak. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 dan Pasal 49 ayat (2) UU Perkawinan terkait hak dan kewajiban menegaskan bahwa orang tua khususnya bapak wajib memberikan nafkah kepada anaknya tersebut. Sehingga secara tegas disebutkan ketika orang tua bercerai maka hak-hak anak tidak terabaikan seperti tidak adanya pemberian nafkah dari salah seorang orang tua dan salah satu dari orang tua baik ayah ataupun ibu tidak diizinkan untuk bertemu dengan anak.
Penentuan tanggung jawab atas hak asuh terhadap anak sebelum masuk kepada pokok perkara, yaitu dilakukan melalui proses mediasi sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya ditulis Perma No. 1 Tahun 2016). Proses mediasi pada umumnya bersifat tertutup dan rahasia, kecuali para pihak menghendaki lain.Namun demikian kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dengan akta perdamaian yang tunduk pada keterbukaan informasi diPengadilan sebagaimana ketentuan pada Pasal 5 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2016.
Pengaturan hak untuk melaksanakan pemeliharaan tentang adanya keharusan anak diwakili oleh orang tua dalam segala perbuatan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 UU Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas tahun) atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Mediasi diperlukan di Pengadilan karena mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan. Proses mediasi dilakukan sesuai dengan ketentuan pada Perma No. 1 Tahun 2016.
Pengaturan hukum penetapan hak asuh anak karena perceraian orang tua didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan yaitu Pasal 41 kemudian dipertegas melalui ketentuan Pasal 45 dan Pasal 49, selanjutnya pada UU No. 4 Tahun 1979 tepatnya pada ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10.
Ketentuan tentang hak asuh anak terdapat dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau biasa disebut Undang-Undang Perkawinan. Bunyi Pasal 41 adalah:
1. Baik bapak maupun ibu tetap berkewajiban memelihra dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Apabila ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan Pendidikan yang diperlukan oleh anak tersebut. Apabila bapak tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya itu.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
Setelah terjadinya perceraian, ayah tetap miliki tanggung jawab memberikan nafkah termasuk biaya Kesehatan dan Pendidikan kepada anak.
Berdasarkan Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasangan yang bercerai tetap memiliki kewajiban terhadap anak seperti berikut:
1. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.
2. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
4. Memberikan Pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti kepada anak.
Penentuan Hak Asuh Anak
Walaupun ditetapkan bahwa sebelum anak berusia 12 tahun hak asuh jatuh ke tangan ibu, namun ada beberapa pengecualian. Hakim berhak menentukan kepada siapa hak asuh anak dijatuhkan. Hakim memiliki kewajiban juga untuk mempertimbangkan lebih jauh terkait alasan mengapa hak asuh anak tersebut tidak hanya didasarkan pada usia anak. Beberapa ketentuannya adalah.
• Ibu tinggal satu rumah dan mengasuh anak
• Bagaimana perilaku ibu, apakah sering melalaikan kewajibannya dalam mengasuh dan merawat anak atau tidak
• Apakah ibu merupakan pemakai narkoba
• Apakah ibu pernah terlibat kekerasan anak
• Apakah ibu dalam keadaan baik, sadar dan waras
• Apakah ibu sedang ada di dalam penjara atau tidak
Apabila beberapa hal tersebut di atas dapat dibuktikan, maka hakim dapat memutuskan jika ibu tidak akan mendapatkan hak asuh anak dan hak asuh bisa diberikan ke pihak bapak. Namun apabila tidak dapat dibuktikan, maka hak asuh anak tetap ada di pihak ibu.
Penulis: Nigel Arya Netrale
The post Penetapan Hak Asuh Anak Sehubungan Dengan Perceraian Orang Tua appeared first on JurnalPost.