Penerapan Pendidikan Inklusi di Negara Berkembang

Penerapan Pendidikan Inklusi di Negara Berkembang

JurnalPost.com – Sekolah inklusi adalah kemajuan dari pengajaran terpadu. Beragam perubahan serta penyesuaian yang dilaksanakan terhadap silabus, fasilitas, staf akademik, rangkaian pembelajaran, dan sistem penilaian di sekolah untuk memastikan bahwa setiap anak berkebutuhan khusus terlayani secara optimal. Alhasil, pendidikan inklusi mengharapkan sekolah dapat beradaptasi dengan perbedaan kebutuhan masing-masing peserta didik dan bukan sebaliknya dimana peserta didik yang harus beradaptasi terhadap sistem pembelajaran yang ada. Fakta bahwa anak penyandang disabilitas dan anak normal bisa berkomunikasi secara lazim sebagaimana kehidupan di masyarakat umumnya dan agar manfaat pendidikan yang sebelumnya direncanakan dapat tercapai. Sekolah dituntut untuk melakukan sejumlah perubahan sebagai akibat penyelenggaraan pendidikan inklusi, meliputi pemikiran, karakter, sikap, serta prosedur pendidikan yang berpusat pada keperluan seseorang tanpa memperhatikan orang lain.

Negara-negara berkembang menghadapi banyak tantangan dalam proses penerapan pendidikan inklusif. Siswa penyandang disabilitas terus mengalami pengucilan dari segala bentuk pendidikan di banyak daerah, yang berakar pada kegagalan masyarakat untuk mengakui kemampuan dan hak mereka. Selain itu, banyak anak akan putus sekolah lebih awal baik karena kemiskinan, lokasi pendidikan yang tidak strategis dengan kata lain tidak dapat dijangkau oleh masyarakat terpencil, atau kurikulum yang tidak sesuai. Di beberapa negara berkembang yang mengalami konflik besar, kemiskinan, dan banyak ketidakpastian, inklusi telah dilihat sebagai sarana untuk mengatasi kembali ketidaksetaraan pendidikan masa lalu. Ini juga telah dilihat sebagai cara untuk menyediakan pendidikan bagi pelajar yang sebelumnya tersisih tanpa perlu membangun staf yang mahal dan sulit serta mempertahankan sekolah luar biasa yang terpisah.

Tantangan lainnya berkaitan dengan kurangnya sumber daya telah dianggap sebagai hambatan penerapan inklusi di banyak negara berkembang. Dalam peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, pasal 41 mengatur bahwa satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang kompeten menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Peraturan ini mengatur ketersediaan sumber daya yang memahami prinsip inklusi.

Untuk membangun sekolah yang lebih efisien dan inklusif bagi semua siswa, penerapan prinsip inklusi membutuhkan tenaga ahli. Tanpa guru yang efektif dan cakap, pedagogi dan instruksi yang tepat tidak mungkin tersedia yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik. Demikian pula, tanpa pola pikir positif terhadap inklusi dan kemauan tulus untuk membedakan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan siswa yang beragam, inklusi tidak mungkin menjadi retorika. Maka jelas, fokus utama untuk bergerak maju harus lebih ditekankan pada mempersiapkan guru untuk pendekatan inklusif. Oleh karena itu, yang sangat penting adalah kebutuhan akan guru yang lebih terlatih untuk memberikan praktik inklusif bagi peserta didik dengan beragam kebutuhan.

Selain itu, pendidikan inklusif adalah masalah yang kompleks, terutama karena sekarang telah diperluas untuk mencerminkan hak semua peserta didik dengan kebutuhan yang beragam untuk mengakses pendidikan di lingkungan sekolah pilihan mereka. Isu kesetaraan telah menjadi kekuatan utama internasional yang mendasari gerakan menuju sistem pendidikan yang lebih inklusif.

Melalui pendekatan ini, para pembuat kebijakan dan pemerintah telah berusaha untuk mengadopsi berbagai praktik yang akan mendorong inklusi lebih lanjut. Namun, pada saat yang sama, kebijakan pendidikan pemerintah berfokus pada akuntabilitas, penilaian, dan hasil yang lebih baik. Sistem pemerintahan dan pendidikan di negara-negara berkembang, seperti rekan-rekan mereka dalam sistem yang lebih mapan, tampaknya saat ini berada dalam dilema mengenai bagaimana melanjutkan inklusi sambil mencoba untuk mengatasi atau dalam banyak kasus memperbaiki dua bidang pengaruh yang saling bertentangan ini yang terus berubah. satu sama lain. Untuk memungkinkan pemerataan sambil menjaga akuntabilitas melalui sistem ujian yang bias membutuhkan keputusan yang sensitif dan sulit yang sangat bergantung pada peran guru untuk diterapkan.

Kebijakan untuk mempromosikan inklusi seringkali sulit diberlakukan di negara berkembang dan mungkin tidak realistis dalam harapan mereka jika didasarkan pada kredo internasional tanpa mempertimbangkan konteks lokal. Isu penyediaan kesetaraan sambil mempertahankan akuntabilitas yang lebih besar menjadi tantangan ketika premis pendidikan dasar dari pedagogi dan kurikulum yang mapan enggan untuk berubah. Untuk memastikan bahwa pendekatan pendidikan inklusif benar-benar memenuhi kebutuhan peserta didik dan gagasan implementasi melalui pengembangan kebijakan dapat dikelola dan dipraktikkan, diperlukan pendekatan sistemik proaktif yang dilengkapi dengan masukan dan keterlibatan lokal. Kebijakan perlu tertanam kuat dan diinformasikan oleh penelitian lokal yang membahas kebutuhan khusus suatu daerah dengan mempertimbangkan situasi kota dan pedesaan, kendala fiskal, struktur pendukung, dan kemampuan mereka yang akan mengimplementasikannya.

Penulis :
1. Juntiana Sara Siregar (216910526)
2. Naomi Kristina p (216910194)
3. Nur Mellany Paizal (216910549)
4. Riska Molinda (216910455)
5. Siti Yasmida (216910201)
6. Zikri Darmawan (216910387)

Dosen Pembimbing :
Dea Mustika, S.Pd.,M.Pd

The post Penerapan Pendidikan Inklusi di Negara Berkembang appeared first on JurnalPost.

SOURCE

Recommended
Foto Andi Moh Raung JurnalPost.com – Andi Moh Raung adalah…