
Metaverse telah menjadi bahan perbincangan, tidak terkecuali di Indonesia. Mumpung masih hangat-hangatnya metaverse pun menjadi bahasan menarik pada webinar bertajuk “Menghadapi Dunia Digital Masa Depan” yang digelar oleh Lembaga Kajian Nawacita pada 10 Februari 2022 lalu.
Metaverse & Era Disrupsi
Seperti dikutip dari laman Wikipedia, metaverse merupakan bagian Internet dari realitas virtual bersama yang dibuat semirip mungkin dengan dunia nyata dalam dunia internet tahap kedua. Metaverse dalam arti yang lebih luas mungkin tidak hanya merujuk pada lingkungan virtual yang dioperasikan oleh perusahaan media sosial tetapi seluruh spektrum realitas berimbuh. Singkatnya, Metaverse adalah ruang virtual yang dapat diciptakan dan dijelajahi dengan pengguna lain tanpa bertemu di ruang yang sama.
“Metaverse kini menjadi bahasan populer di tengah masyarakat. Platform yang dikembangkan sejauh korporasi global itu akan mengubah ekosistem digital. Keberadaannya disebut dapat menjadi masa depan dunia, di mana segala kegiatan di dunia nyata dapat dijalankan virtual,” ungkap Ir. Samsul Hadi, Ketua Umum Lembaga Kajian Nawacita.
Kendati demikian, mengutip sejumlah pernyataan dari pengamat TIK, Samsul Hadi, mengungkap beberapa poin yang perlu dipertimbangkan menyangkut kehadiran metaverse di Tanah Air. Pertama, metaverse disebut membutuhkan sejumlah peralatan yang tidak murah, sehingga pemanfaatan secara masif masih akan sulit. Meski akan menjadi tren yang potensial di masa depan, metaverse juga membutuhkan kapasitas komputer yang memadai serta kecepatan internet yang mumpuni.
“Datangnya era metaverse akan mempengaruhi unit penggunaan data, maka persiapan aspek regulasi, hukum, juga harus dipertimbangan. Di sisi lain, penegak hukum jug aharus dibekali dengan kemampuan digital. Kemungkinan di sektor ekonomi dapat terjadi sedikit banyak akan berdampak pada ekonomi Indonesia,” lanjut Samsul.
Hadir pada acara yang sama, Prof. Dr. Marsudi Wahyu Kisworo, Anggota Dewan Pengarah BRIN, berbicara mengenai peluang dan tantangan dalam dunia digital masa depan. Dalam paparannya, Prof. Marsudi mengatakan bahwa peluang dan tantangan ini adalah suatu yang hal wajar ketika menghadapi sebuah era yang namanya disrupsi.
“Bahwa setiap fenomena disrupsi akan melakukan pergeseran pada dua hal yang berbeda, yang pertama adalah tatanan hidup masyarakat akan berubah. Yang kedua adalah adanya pergeseran dalam tenaga kerja,” jelasnya.
Seiring dengan adanya pergeseran, baik tatanan hidup maupun pergeseran tenaga kerja, meng-upgrade diri, meningkatkan kemampuan dan kompetensi menjadi suatu keharusan. Prof. Marsudi mencontohkan, pada era peralihan transportasi dari kuda ke kereta api, bila kusir-kusir dan pencari rumput (untuk pakan kuda) tidak mau mengubah dirinya maka mereka akan tergilas oleh kemajuan.
”Ini adalah salah satu contoh yang namanya disrupsi. Bahwa disrupsi itu membawa perubahan yang fundamental sekali dalam tatanan bisnis maupun di dalam tatanan kehidupan masyarakat. Digital adalah salah contoh dari disrupsi yang berbeda. Jadi, ketika kita menghadapi fenomena digitalisasi di mana-mana itu adalah sebuah distrupsi yang akan mengubah budaya, mengubah tata kerja, atau mengubah pola, dan mengubah segala macam. Bahkan diperkirakan perubahan yang ditimbulkan oleh teknologi digital itu sangat mendasar,” paparnya.
Dulu, kata Prof. Marsudi, orang tidak pernah membayangkan ada kereta yang bisa mengangkut seratus orang. Tidak pernah terbayang oleh orang kala itu, ada kereta yang ditarik dengan sesuatu yang tidak makan rumput, yaitu lokomotif. “Orang dulu tidak pernah membayangkan itu, tetapi faktanya timbullah teknologi yang disebut kereta api.
Jadi, saya ingin membawa ini ke dalam analogi di kehidupan kita sehari-hari, yaitu teknologi digital. Inilah esensi dari disrupsi. Jadi, sekali lagi disrupsi adalah sebuah fenomena ketika teknologi mengubah tatanan hidup masyarakat dan juga tatanan bisnis dan semuanya,” ujarnya.
Lebih lanjut dalam paparannya Prof. Marsudi mengungkap empat hal penting yang akan mendisrupsi kehidupan manusia dari sisi teknologi, antara lain Computing Power and Infrastructure, Artificial, Intelligence,Immersive Interaction Technology, dan Digital Virtual World.
Metaverse, Peluang dan Tantangannya
Sebelum berbicara mengenai metaverse itu sendiri, Prof. Marsudi lebih dahulu membeberkan data terkait media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia. Di mana berdasarkan data pada Januari 2021, disebutkan bahwa media sosial yang paling banyak digunakan adalah Youtube, disusul WhatsApp, Instagram, Facebook dan seterusnya.
“Jadi, apa artinya di sini, orang Indonesia senang bersosial media. Makanya metaverse punya kesempatan pasar yang besar di Indonesia. Dan ini diincar oleh Facebook dan lain-lain. Kalau kita tidak siap, dua tahun yang akan datang, tiga tahun yang akan datang kita kaget tiba-tiba kita menjadi pemakainnya metaverse. Jadi, kalau kita tidak siap dengan metaverse percayalah kita akan menjadi pasar lagi, seperti yang sudah terjadi di handphone, komunikasi, media sosial, operating system, kita semuanya menjadi pasar tidak ada yang menjadi produser,” paparnya.
Berbicara soal opportunity (peluang), setidaknya ada beberapa hal yang bisa dikembangkan pada era metaverse. Pertama, peluang yang bisa dibangun pada era metaverse adalah membuat avatar. Menurut Prof. Marsudi di luar negeri sudah terjadi di mana para desain avatar ini menghasilkan uang yang sangat besarnya, karena avatar ini dijual.
“Opportunity selanjutnya adalah Virtual Programming. Jadi. orang itu ngga lagi peduli interaksi pakai fisik (bertemu secara fisik). Jadi, maunya itu seperti seolah-olah kita ada di sana (bertemu secara virtual). Yang juga menjadi opportunity berikutnya adalah MILEs. Jadi, kalau kita membuat pameran atau pertunjukan orang yang bisa hadir secara digital maka audiensenya bisa tidak ada batas, orang dari negara manapun bisa hadir dan jumlahnya bisa besar. Yang juga sekarang jadi tren adalah Extended Reality,” ungkapnya.
Adapun mengenai tantangannya, disebutkan tahwa 60% pekerjaan itu akan hilang atau diganti dengan digitalisasi. Ini dikatakan Prof.Marsudi berdasarkan laporan dari McKinsey. “Dia (McKinsey) mengatakan bahwa di Indonesia itu 60 persen pekerja kita akan hilang diganti dengan otomasi atau 30% akan digantikan dengan hightech. Jadi, artinya apa, ada 52,6 juta pekerjaaan akan hilang di Indonesia diganti dengan digital. Ini kan tidak sedikit, lalu apa yang harus kita lakukan, bagaimana kita buat nanti kusir kuda, lalu tukang buat sepatu kuda, peternak kuda bisa hidup di era kereta api. Nah, inijadi pertanyaan besar. Jadi, ini jadi PR kita bagaimana 52,6 juta akan hilang diganti dengan digitalisasi,” tandasnya.
Tantangan selanjutnya adalah soal inovasi, di mana berdasarkan ranking dunia Indonesia masih kecil. “Indonesia kalau dilihat dari rangking IT-nya jeblok semua. Kita pendapatan per kapita kita oke lahsudah meningkat. Tapi kita (bila) lihat ranking, kita bicara ranking inovasi itu (kita diposisi) 87, ranking SDG juga (di posisi) 97, ini ranking yang kecil. Itu tantangan yang kedua,” katanya.
Adapun tantangan ketiga yang dihadapi adalah masalah sumber daya manusia (SDM). Prof. Marsudi mengatakan bahwa ketika kita masuk dunia digital di mana semua pekerjaan yang low skilled dan mid skilled (nantinya) diganti dengan digital/robot, maka tersisa pekerjaan high skliled yang dikerjakan oleh manusia. “Karena itu, kita harus mendidik orang Indonesia itu menjadi inovator-inovator karena itu tidak bisa digantikan dengan robot, kreator itu tidak bisa digantikan dengan robot. Pekerjaan lain akan digantikan dengan AI, mekatronik, otomasi, oleh robot, tetapi inovasi dan kreativitas itu tidak bisa digantikan oleh robot. Sayangnya pendidikan di Indonesia itu tidak mendukung ke arah situ,” ujarnya.
Lalu, berikutnya tantangan juga datang dari sisi digitalisasi. Menurut Prof. Marsudi, kalau kita mau bicara digitalisai, berate kita harus membuat agar IT yang saat ini menjadi komoditas harus berubah menuju ke enabler. “Jadi intinya adalah bagaimana IT itu menjadi enabler. Artinya kita bicara mengenai hal yang sifatnya strategi. Jadi transformasi digital kita harus menggeser IT dari sekedar efisiensi menjadi strategic, dari sekedar IT user menjadi IT Board dan seterusnya,” kata Prof. Marsudi.
Selain hal di atas, tantangan lain yang juga masih perlu mendapat perhatian adalah masalah infrastruktur dan masih banyak lagi.