Menyoal Demokrasi, Tampaknya Saya Harus Sepakat dengan Socrates

Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Menyoal Demokrasi, Tampaknya Saya Harus Sepakat dengan Socrates

Menyoal Demokrasi, Tampaknya Saya Harus Sepakat dengan Socrates

JurnalPost.com – Demokrasi sering dianggap sebagai sistem politik paling ideal, sebuah mahakarya peradaban manusia yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi rakyat. Namun, di balik puja-puji terhadap demokrasi, ada kritik mendasar yang diajukan oleh Socrates, filsuf Yunani kuno, yang hingga hari ini masih relevan untuk direfleksikan. Socrates melalui muridnya, Plato, menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang cacat sejak awal. Baginya, demokrasi bukanlah solusi, melainkan masalah itu sendiri. Sebagai seorang yang awalnya sangat sepakat dengan demokrasi, saya mulai bertanya-tanya: apakah Socrates benar?

Socrates, sejak awal berpandangan bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang rentan terhadap manipulasi dan ketidakrasionalan. Dalam analoginya yang terkenal tentang kapal, dia mempertanyakan apakah penumpang kapal yang tidak berpengalaman seharusnya memilih nahkoda, ataukah kepemimpinan harus diserahkan kepada mereka yang benar-benar memiliki keahlian. Kritik ini menyentuh inti masalah demokrasi: apakah suara mayoritas selalu menghasilkan keputusan yang bijaksana? Atau justru demokrasi membuka pintu bagi kepemimpinan yang tidak kompeten?

Di era sekarang apalagi ditarik ke dalam kondisi dan situasi negara Indonesia saat ini, kritik Socrates terasa semakin relevan. Kita menyaksikan bagaimana demokrasi sering kali dimanipulasi oleh kepentingan politik, media, dan kekuatan ekonomi. Populisme merajalela, dan keputusan-keputusan penting sering kali diambil bukan berdasarkan kebijaksanaan, tetapi berdasarkan popularitas atau tekanan massa. Apakah ini yang kita sebut sebagai kemajuan peradaban? Atau justru kita sedang mengulangi kesalahan yang telah diperingatkan oleh Socrates ribuan tahun lalu?

Dalam artikel ini, saya akan mengajak pembaca untuk mengeksplorasi kritik Socrates terhadap demokrasi dan melihat sejauh mana pandangannya masih relevan di masa kini. Melalui refleksi ini, saya berharap kita dapat mempertanyakan kembali asumsi-asumsi kita tentang demokrasi dan mencari cara untuk memperbaikinya.

Demokrasi dan Ilusi Kebijaksanaan
Socrates mengkritik demokrasi karena sistem ini mengabaikan pentingnya kebijaksanaan dan pengetahuan dalam pengambilan keputusan. Baginya, memimpin negara bukanlah tugas yang bisa diserahkan kepada siapa saja, melainkan membutuhkan keahlian khusus. Dalam The Republic, Plato menggambarkan Socrates yang membandingkan negara dengan kapal. Dia bertanya, “Apakah penumpang kapal yang tidak tahu navigasi seharusnya memilih nahkoda, ataukah kepemimpinan harus diserahkan kepada mereka yang terlatih?” Analogi ini menyoroti kelemahan mendasar demokrasi: suara mayoritas tidak selalu merepresentasikan kemampuan, kapasitas, dan kebijaksanaan.

Di masa kini, kita sering melihat bagaimana keputusan-keputusan politik diambil bukan berdasarkan analisis mendalam, tetapi berdasarkan popularitas atau tekanan publik. Misalnya, kebijakan-kebijakan populis sering kali dipilih karena mampu menarik simpati massa, meskipun dampak jangka panjangnya merugikan. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi, seperti yang dikhawatirkan Socrates, rentan terhadap ketidakrasionalan.

Selain itu, demokrasi juga cenderung mengabaikan peran para ahli. Dalam banyak kasus, suara para ilmuwan, ekonom, atau pakar lainnya sering kali diabaikan demi memenuhi keinginan politik jangka pendek. Akibatnya, keputusan-keputusan penting sering kali dibuat tanpa pertimbangan yang matang, yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas.

Dengan demikian, kritik Socrates tentang pentingnya kebijaksanaan dalam kepemimpinan tetap relevan. Demokrasi, tanpa mekanisme yang memastikan partisipasi para ahli, berisiko menjadi sistem yang tidak efektif dan bahkan merusak.

Bahaya Populisme dalam Demokrasi
Socrates juga memperingatkan tentang bahaya populisme dalam demokrasi. Dia khawatir bahwa dalam sistem demokrasi, para pemimpin cenderung mengatakan apa yang ingin didengar oleh rakyat, bukan apa yang sebenarnya perlu dilakukan untuk kebaikan bersama. Hal ini dapat mengarah pada keputusan-keputusan yang populer tetapi tidak bijaksana atau bahkan merusak.

Kita sering kali menyaksikan bagaimana populisme menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Para pemimpin populis sering kali memanfaatkan emosi dan prasangka rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Mereka menawarkan solusi-solusi sederhana untuk masalah-masalah kompleks, yang pada akhirnya hanya menciptakan ilusi kemajuan. Misalnya, kebijakan proteksionisme yang populer di kalangan massa sering kali justru merugikan perekonomian dalam jangka panjang.

Selain itu, populisme juga cenderung memecah belah masyarakat. Dengan memanfaatkan isu-isu sensitif seperti agama, etnis, atau identitas, para pemimpin populis sering kali menciptakan polarisasi yang merusak kohesi sosial. Hal ini tidak hanya mengancam stabilitas politik, tetapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri.

Dengan melihat fenomena ini, kritik Socrates tentang bahaya populisme dalam demokrasi terasa semakin relevan. Demokrasi, tanpa mekanisme yang memastikan akuntabilitas dan kebijaksanaan, berisiko menjadi alat bagi para demagog untuk memperoleh kekuasaan.

Ketidaksetaraan dalam Demokrasi
Socrates juga mengkritik demokrasi karena kecenderungannya untuk menciptakan ketidaksetaraan. Meskipun demokrasi menjanjikan kesetaraan dalam hak politik, Socrates melihat bahwa dalam praktiknya, demokrasi sering kali melahirkan ketidakadilan sosial dan ekonomi. Dia berargumen bahwa demokrasi cenderung menguntungkan mereka yang pandai memanipulasi sistem, sementara orang-orang yang benar-benar berbakat dan memiliki kemampuan atau kapasitas sebagai pemimpin mungkin justru tersingkir.

Ketidaksetaraan dalam demokrasi semakin terlihat jelas. Kekuatan ekonomi dan politik sering kali terkonsentrasi di tangan segelintir elit, sementara mayoritas rakyat hanya memiliki pengaruh yang terbatas. Misalnya, dalam sistem pemilihan yang didanai oleh korporasi, suara rakyat sering kali kalah oleh kepentingan para donatur besar.

Selain itu, demokrasi juga cenderung mengabaikan kelompok-kelompok marginal. Meskipun secara teoritis semua orang memiliki hak yang sama, dalam praktiknya, kelompok-kelompok seperti minoritas etnis, perempuan, atau masyarakat miskin sering kali kesulitan untuk mendapatkan representasi yang adil. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi, tanpa upaya serius untuk mengatasi ketidaksetaraan, hanya akan melanggengkan status quo.

Dengan demikian, kritik Socrates tentang ketidaksetaraan dalam demokrasi tetap relevan. Demokrasi, tanpa upaya untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, hanya akan menjadi sistem yang menguntungkan segelintir orang.

Menuju Demokrasi yang Lebih Bijaksana
Meskipun Socrates mengkritik demokrasi, dia tidak menawarkan solusi yang sempurna. Namun, kritiknya mengajak kita untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana menciptakan sistem politik yang benar-benar adil dan bijaksana. Salah satu cara untuk memperbaiki demokrasi adalah dengan memastikan partisipasi para ahli dalam pengambilan keputusan. Misalnya, dengan membentuk dewan-dewan ahli yang independen, kita dapat memastikan bahwa kebijakan-kebijakan penting dibuat berdasarkan analisis yang mendalam, bukan sekadar kepentingan probadi atau kelomok-kelompok tertentu.

Selain itu, kita juga perlu memperkuat mekanisme akuntabilitas dalam demokrasi. Dengan memastikan bahwa para pemimpin bertanggung jawab atas keputusan-keputusan mereka, kita dapat mengurangi risiko penyalahgunaan kekuasaan. Misalnya, dengan memperkuat peran lembaga-lembaga pengawas dan media independen, kita dapat memastikan bahwa demokrasi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsipnya.

Terakhir, kita juga perlu memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi dalam demokrasi. Tanpa upaya serius untuk mengatasi ketidaksetaraan, demokrasi hanya akan menjadi sistem yang menguntungkan segelintir orang. Dengan memperluas akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi, kita dapat memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang adil untuk berpartisipasi dalam demokrasi.

Kesimpulan: Belajar dari Socrates
Kritik Socrates terhadap demokrasi mengingatkan kita bahwa sistem politik apa pun tidak pernah sempurna. Demokrasi, meskipun dianggap sebagai sistem terbaik yang kita miliki, memiliki kelemahan-kelemahan yang perlu diatasi. Dengan belajar dari kritik Socrates, kita dapat memperbaiki demokrasi dan menciptakan sistem politik yang lebih adil, bijaksana, dan inklusif. Pada akhirnya, demokrasi bukanlah tujuan akhir, tetapi sebuah proses yang harus terus diperjuangkan dan disempurnakan.

Oleh: Afif Yudi Kurniawan

The post Menyoal Demokrasi, Tampaknya Saya Harus Sepakat dengan Socrates appeared first on JurnalPost.

SOURCE

Recommended
Sah! – Kesejahteraan karyawan adalah faktor penting dalam keberlangsungan sebuah…