Menerapkan Force Majeure karena Situasi Genting? Ketahui dulu Ketentuannya!

Sah! – Para pihak dalam perjanjian harus sangat berhati-hati saat merancang kontrak karena ada kemungkinan cedera janji (wanprestasi) oleh salah satu pihak di kemudian hari. 

Setiap pihak harus bertanggung jawab atas perjanjian atau kontrak yang telah disepakati. Dalam perjanjian atau kontrak, ada hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. 

Klausul force majeure penting dalam kontrak karena melindungi para pihak jika terjadi hal-hal di luar kendali yang menghambat dalam pemenuhan kewajiban.

Perjanjian harus dilaksanakan pada waktu yang ditentukan jika terjadi bencana alam atau huru-hara yang menyebabkan kerusakan besar di suatu wilayah. 

Oleh karena itu, pihak yang mengalami kerugian tidak dapat menggugat pihak yang lalai memenuhi perjanjian karena alasan di atas. 

Hal ini disebabkan oleh konsep hukum yang dikenal sebagai keadaan kahar atau force majeure.

Untuk itu, dalam artikel ini akan dibahas secara mendalam mengenai force majeure. Lalu bagaimanakah penerapan force majeure dalam perjanjian kerjasama? 

Arti Force Majeure

Force majeure adalah keadaan memaksa (overmatch) yang menyebabkan salah satu pihak gagal menjalankan kewajibannya kepada pihak lain karena kejadian di luar kuasa mereka.

Misalnya, terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, pandemi, perang, kerusuhan, dan sebagainya.

Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “keadaan kahar”. Dalam Bahasa Prancis, “force majeure” secara harfiah berarti kekuatan yang lebih besar.

Secara umum, peristiwa force majeure terjadi ketika terjadi tanpa diduga, di luar kuasa pihak terkait, dan tidak dapat dihindari.

Klausul force majeure biasanya ada di setiap kontrak antara dua belah pihak. Hal ini berguna untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin mengakibatkan kerugian bagi masing-masing pihak.

Dalam situasi force majeure, pihak debitur dapat dibebaskan dari tuntutan.

Ketentuan Hukum Penerapan Force Majeure dalam Perjanjian Kerja Sama

KUH Perdata mengatur force majeure dalam hukum Indonesia. Ketentuan tersebut tidak mengatur definisi force majeure tetapi lebih kepada penekanan bahwa keadaan-keadaan yang tidak terduga dapat membatalkan perjanjian atau menunda pelaksanaan kewajiban.

Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata memberikan definisi umum tentang keadaan kahar. 

Secara garis besar, pasal-pasal tersebut menetapkan bahwa seluruh pihak dapat membantu membuktikan bahwa dia tidak dapat memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian karena keadaan yang tidak terduga atau di luar kemampuannya, pihak tersebut tidak dapat diminta untuk membayar ganti rugi.

Adapun pasal-pasal yang mengatur mengenai force majeure, yaitu

a. Pasal 1244 KUH Perdata

Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”

b. Pasal 1245 KUH Perdata

Dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diatur bahwa:

“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Ada 5 kondisi yang menyebabkan debitur tidak dapat melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga sesuai dengan ketentuan berikut:

  1. Peristiwa yang tidak terduga telah terjadi (tidak termasuk dalam asumsi dasar dalam pembuatan kontrak)
  2. Peristiwa yang terjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada pihak debitur
  3. Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan pihak debitur
  4. Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan para pihak yang terkait
  5. Pihak debitur tidak memiliki itikad yang buruk.

c. Pasal 1444 KUH Perdata

Pasal 1444 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka perikatannya menjadi hapus, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berhutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.”

Perikatan hapus jika barang si berhutang musnah di tangan jika sudah diserahkan kepadanya. Ini terjadi bahkan jika si berhutang lalai menyerahkan sesuatu barang sedangkan ia tidak telah menanggung akibat dari peristiwa yang tidak terduga .

Si berhutang harus membuktikan kejadian yang dimajukan itu. Jika sesuatu barang dicuri, musnah atau hilang, hilang barang tersebut tidak sekali-kali melepaskan orang yang mencuri dari kewajiban untuk menggantinya.

d. Pasal 1445 KUHPerdata

Dalam Pasal 1445 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diatur bahwa 

“Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berhutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.”

Kategori Force Majeure

Ada beberapa kategori force majeure saat perjanjian atau kontrak dilakukan, yaitu:

  1. Force Majeure Objektif

Force majeure objektif timbul ketika kecelakaan terjadi pada objek yang ada dalam kontrak. Misalnya ketika objek dalam perjanjian terkena banjir atau kebakaran.

  1. Force Majeure Subjektif                                 

Aturan ini berlaku apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya karena kondisi yang tidak diduga selama kontrak atau perjanjian dibuat.

  1. Force Majeure Absolut

Hal ini terjadi ketika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam situasi apa pun, seperti ketika barang sudah tidak lagi dibuat atau dijual.

  1. Force Majeure Relatif

Hal ini dapat terjadi jika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan cara yang biasa. Misalnya, Anda dan mitra bisnis Anda setuju untuk mengekspor dan mengimpor barang, tetapi pemerintah mengeluarkan aturan baru yang melarang beberapa barang.

Oleh karena itu, perjanjian yang telah disetujui kedua belah pihak tidak dapat dilaksanakan secara konvensional. Namun, kontrak mungkin tetap dapat dilaksanakan secara melanggar hukum.

  1. Force Majeure Permanen

Ketika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan cara apa pun dan kapan pun, itu disebut force majeure permanen. Contohnya, ketika orang yang menyetujui kontrak jatuh sakit sehingga tidak dapat bertanggung jawab atas perjanjian.

  1. Force Majeure Temporer

Sebaliknya, force majeure ini terjadi ketika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan batas waktu tertentu, tetapi dapat dipenuhi di kemudian hari.

Misalnya, ketika pengadaan barang yang disebutkan dalam kontrak tertunda karena terjadi aksi mogok kerja buruh, penyediaan barang sesuai perjanjian tetap dapat dipenuhi ketika buruh kembali bekerja dan perusahaan produsen kembali beroperasi.

Syarat-Syarat yang Terpenuhi Sebagai Force Majeure

Keadaan memaksa yang akhirnya dianggap sebagai force majeure tidak dapat terjadi secara instan oleh salah satu pihak, tetapi harus memenuhi persyaratan berikut:

  1. Tidak dapat memenuhi kewajibannya karena terjadi peristiwa yang membinasakan dan/atau memusnahkan benda yang dijadikan objek perjanjian. 
  2. Tidak dapat memenuhi kewajibannya karena terjadi peristiwa yang tak terduga, baik tetap maupun sementara. 
  3. Peristiwa yang terjadi adalah peristiwa yang tidak dapat diprediksi oleh seluruh pihak, sehingga tidak disebabkan oleh pihak pertama, kedua, atau pihak ketiga.

Force majeure biasanya dijelaskan secara rinci dalam perjanjian kerja sama. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengatur secara sepihak kondisi yang sengaja dibuat agar tanggung jawab tidak terpenuhi.

Selain itu, dalam kondisi yang tidak biasa dan di luar kendali, pihak yang bekerja sama mungkin tidak dibebaskan dari seluruh kewajibannya. 

Pada dasarnya, semua aturan kerja sama tertulis dengan jelas dalam kontrak, jadi pelaksanaannya harus dilakukan sesuai prosedur.

Seperti itulah penyampaian artikel terkait Ketentuan dalam Menerapkan Force Majeure karena Situasi Genting, semoga bermanfaat. 

Sah! siap menyediakan layanan berupa pengurusan legalitas usaha serta pembuatan izin HAKI termasuk pendaftaran hak cipta dengan aman, cepat, anti-ribet dan sangat terjamin. Sehingga, tidak perlu khawatir dalam menjalankan aktivitas lembaga/usaha. 

Bagi yang hendak mendirikan lembaga/usaha atau mengurus legalitas usaha cukup hubungi kami via WA 0851 7300 7406 atau dapat kunjungi laman Sah.co.id. 

Sah! siap memberikan solusi mudah untuk Anda.

 

Source:

https://heylaw.id/blog/aturan-mengenai-keadaan-memaksa-force-majeure-dalam-memenuhi-perjanjian

http://54.254.73.250/dokumen-bisnis/apa-itu-force-majeure/

https://www.ocbc.id/id/article/2023/03/30/force-majeure-adalah

https://beritausaha.com/bisnis-ecommerce/force-majeure/

The post Menerapkan Force Majeure karena Situasi Genting? Ketahui dulu Ketentuannya! appeared first on Sah! Blog.

SOURCE

Recommended
Sah! – Dalam perkembangan teknologi, penggunaan internet sudah semakin berkembang…