
JurnalPost.com – Kekerasan seksual merujuk pada berbagai bentuk perbuatan yang bersifat seksual dan merugikan, yang dilakukan tanpa persetujuan atau kehendak seseorang. Hal tersebut bisa meninggalkan luka batin pada korban yang menyebabkan merasa terancam, rendah diri, dan merasa tidak berharga. Topik pembicaraan mengenai kekerasan seksual ini masih merupakan hal tabu di lingkungan masyarakat. Mayoritas masyarakat menganggap perilaku asusila ini terlalu menjijikkan untuk dibicarakan, padahal korban sangat memerlukan dukungan dari berbagai pihak untuk bisa mengatasi traumanya. Penanganan dari pihak masyarakat mengenai kasus semacam ini juga masih sangat buruk, bahkan sebagian korban ada yang dinikahkan dengan pelaku. Bayangkan apa yang akan terjadi jika hal keji ini terjadi di lingkungan keluarga! Bagaimana perasaan korban menanggung aib dan luka perih yang ditorehkan oleh anggota keluarganya sendiri?
Pelecehan seksual di lingkungan keluarga seringkali terjadi di balik tembok rumah yang terlihat hangat dan aman sehingga tidak disadari oleh warga sekitar. Tindakan kekerasan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi korban, yang celakanya realita berkata sebaliknya. Faktor yang bisa menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual ini sangat beragam, conothnya seperti ketimpangan kekuasaan dan rendahnya pendidikan. Dalam berbagai kasus, pelaku pelecehan seringnya adalah orang tua, saudara yang lebih tua, atau kerabat yang merasa diri mereka posisi yang lebih kuat dari korban. Pelaku sering kali menganggap korban lebih lemah dan menjadikan mereka sasaran empuk untuk melaksanakan ide bejatnya. Ditambah dengan kurangnya pendidikan yang memadai, sehingga pelaku kurang memiliki kesadaran tentang menghargai hak asasi dan menjaga batasan antar anggota keluarga.
Dampak dari perbuatan pelecehan seksual dari orang terdekat bisa berdampak sangat merusak kepada korban. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan psikologis. Korban kekerasan seksual bisa dipastikan memiliki luka batin dan trauma yang sangat mendalam, terutama karena didasari oleh penghianatan dari keluarganya sendiri. Korban seringkali merasa bersalah atas hal yang tidak mereka lakukan dan kondisi yang tidak bisa mereka tolak. Korban juga akan merasa malu dan takut untuk membicarakannya kepdada orang lain, hal ini dikarenakan stigma buruk dari masyarakat yang menganggap hal tersebut adalah aib baik itu untuk pelaku maupun korban. Kekerasan seksual juga akan berdampak pada Kesehatan mental dan emosional korban. Banyak korban kekerasan seksual mengalami depresi, gangguang kecemasan, gnangguan makan, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Selain itu, kekerasan seksual juga bisa berdampak pada hubungan sosial korban. Korban biasanya akan cenderung dijauhi dan dikucilkan oleh temannya dan sering kali akan menjadi bahan gunjingan warga.
Sebuah kasus menggemparkan terjadi di daerah Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Seorang ibu berinisial RH masih berusaha berjuang mendpatkan keadilan untuk putrinya setelah hakim membebaskan terduga pelaku pemerkosaan, yaitu ayah kandung anak itu sendiri. RH menyebutkan bahwa kedua anaknya pernah dibawa terdakwa, yaitu ayah kandung kedua korban dan mantan suami RH, ke rumah orang tua terdakwa. RH mengungkapkan bahwa dia berusaha memulangkan kedua anaknya namun pada akhirnya gagal karen tidak memiliki hak asuh anak. Setelah pulang dari rumah orang tua terdakwa, anak kedu RH yang baru memasuki sd bercerita bahwa sang ayah menyuruh dia dan kakaknya untuk masuk ke kamar dan kemudian bersetubuh dengan istri barunya di depan kedua anak kandungnya.
Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan untuk membantu memudahkan pembuktian kasus kekerasan seksual, masih banyak kasus yang mengalami hambatan dan belum terselesaikan. Komisi Perlindungan Anak (KPAI) mencatat sejauh ini terdapat lebih dari 200 kasus serupa terjadi di tahun 2023. Ditinjau pada kenyataannya, banyak terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap anak akhirnya divonis bebas atau kasusnya diberhentikan, hal ini terjadi karena penyidik gagal di proses pembuktian.
Komisioner KPAI Dian Sasmita menuturkan lembaganya mendapat banyak laporan terkait dengan kasus kekerasan seksual yang mengalami hambatan. Dian juga menyatakan, muali dari Januari hingga pertengahan Juli 2023, KPAI menerima 236 laporan kekerasan seksual yang mengalami hambatan dengan jumlah teradi 212 orang.
Untuk menangani kekerasan seksual di lingkungan keluarga, diperlukan Langkah-langkah penanggulangnan dan epncegahan yang sangat komprehensif. Hal paling mendasar yang bisa dilakukan pemerintah dan kita bersama yaitu memberikan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual yang bisa terjadi di lingkungan keluarga dan apa saja dampak yang dirasakan korban. Edukasi seksual juga hendaknya dimasifkan di usia sekolah, sehingga anak-anak kedepannya bisa tahu perilaku apa saja yang memiliki tendensi kea rah pelecehan serta langkah apa yang bisa mereka ambil sebagai bentuk perlindungan diri.
Peningkatan kualitas pendidikan secara umum juga bisa sangat membantu menanggulangi kasus-kasus kekerasan seksual seperti ini. Ambil saja contoh di pendidikan agama. Dengan memperdalam pendidikan agama orang tua serta anak bisa lebih mengerti peran-peran merka di kehidupan. Pendidikan agama bisa meningkatkan kualitas cara berpikir serta moralitas orang tua dan anak, sehingga kedepannya nanti orang tua dan anak akan lebih memperhatikan penerapan nilai-nilai etika di kehidupan dan meminimalisir terjadinya Tindakan asusila.
Selain itu, perlu adanya usaha untuk memperkuat sistem perlindungan dan pempertegas proses penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual. Hal ini bisa dilakukan dengan membentuk kebijakan yang lebih tegas, peningkatan akses layanan Kesehatan dan psikososial, serta peningkatan jumlaha aparat penegak hukum yang jujur dan adil dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Namun yang paling penting, yaitu kolaborasi dari berbagai pihak untuk menangani kasus itu sendiri. Kerjasama yang efektif antara keluarga, pihak kepolisian dan penegak hukum, dan Lembaga sosial sangat diperlukan. Tanpa adanya koordinasi yang baik antara berbagai pihak, masalah akan sulit diatasi bahkan kemungkinan kasus untuk diberhentikan juga bisa terjadi.
Jadi, hendaknya kita sebagai bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, hendaknya aktif dalam menyuarakan keadilan dan ikut serta menyiapkan diri untuk membela kebenaran. Dengan demikian, melalui Tindakan nyata dan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai Pancasila, kita dapat bersama-sama menciptakan lingkungan yang adil, harmonis, dan menghargai hak asasi setiap individu.
Kesimpulannya, kekerasan seksual di lingkungan keluarga merupakan masalah yang tabu dan memerlukan perhatian yang serius. Dalam konteks Pancasila, kekerasan seksual melanggar prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan kesatuan. Oleh karena beban yang sangat besar itu, penanggulangan dan pencegahan kekerasan seksual harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan seks juga dapat membantu mencegah terjadinya pelecehan seksual dengan cara memberikan pemahaman dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Koordinasi yang baik dari berbagai pihak juga snagat dibutuhkan, agar bisa mengoptimalkan proses penanganan kasus sekaligus sebagai dukungan emosional terhadap korban. Selain itu, juga diperlukan adanya upaya untuk memperkuat system perlindungan dan penegakan hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual.
Oleh: Nabila Nabatan Hasana
The post Mendobrak Tabu: Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Keluarga dan Dampaknya Pada Korban appeared first on JurnalPost.