Oleh Muhammad Thaufan Arifuddin, MA
(Pengamat Media, Korupsi, Demokrasi, dan Budaya Lokal. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas)
JurnalPost.com – Media sosial telah menjadi alat yang sangat penting dalam strategi kampanye politik di Indonesia, terutama menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dengan jumlah pengguna aktif mencapai 191 juta pada Januari 2022, media sosial menjadi saluran efektif untuk mencapai pemilih, khususnya generasi millenial dan Z yang mendominasi hingga 56 persen dari pemilih pada Pemilu 2024. Meskipun memberikan manfaat besar dalam meningkatkan partisipasi pemilih dan menyampaikan informasi kandidat, penggunaan media sosial juga membawa tantangan serius.
Kelebihan penggunaan media sosial dalam kampanye pemilu termasuk aksesibilitas dan efisiensi yang tinggi. Platform ini memberikan akses mudah dan relatif murah untuk mencapai pemilih dalam jumlah besar dengan cepat. Selain itu, interaksi yang dapat dilakukan pemilih dengan kandidat melalui media sosial juga meningkatkan keterlibatan dan partisipasi politik.
Namun, tantangan yang dihadapi dalam penggunaan media sosial sangat nyata. Penyebaran hoaks dan disinformasi menjadi permasalahan utama, mengancam integritas pemilihan dan menyajikan informasi yang tidak akurat kepada pemilih. Pengawasan terhadap media sosial masih lemah, memungkinkan akun palsu berkembang untuk memengaruhi pemilih.
Pengalaman global juga menunjukkan dampak negatif dari propaganda komputasional. Campur tangan Rusia dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 adalah contoh ekstrem dari negara yang menggunakan media sosial untuk memanipulasi opini publik. Lebih dari 70 negara, termasuk Tiongkok, Iran, dan Rusia, telah menggunakan propaganda komputasional untuk memanipulasi opini publik.
Facebook dan Twitter (X) menjadi platform yang sering digunakan untuk menyebarkan disinformasi. Meskipun kedua perusahaan menyadari potensi penyalahgunaan platform mereka, kebijakan mereka terkait iklan politik berbeda. Twitter (X) melarang iklan yang menyebutkan kandidat tertentu, sementara Facebook mengklaim netralitas platformnya.
Alhasil, tantangan yang dihadapi oleh media sosial dalam konteks kampanye pemilu memerlukan respons yang serius. Pengawasan eksternal dan kontrol lebih ketat diperlukan untuk mencegah penyebaran disinformasi. Pendidikan pemilih dan kesadaran publik juga menjadi kunci dalam memitigasi dampak negatif media sosial pada proses demokrasi.
Seiring dengan itu, pemerintah perlu memainkan peran yang lebih aktif dalam merumuskan kebijakan yang mendukung pengawasan media sosial. Upaya kolaboratif antara pemerintah, perusahaan media sosial, dan masyarakat sipil diperlukan untuk menciptakan lingkungan media sosial yang sehat dan mendukung demokrasi.
Di samping itu, peningkatan transparansi dari perusahaan media sosial dalam memoderasi konten politik menjadi krusial. Perlu ada standar yang lebih ketat untuk melaporkan dan menanggapi konten yang merugikan. Selain itu, pendidikan pemilih harus difokuskan pada pengembangan keterampilan pemahaman media sosial, membantu pemilih memilah informasi yang akurat dari yang tidak.
Dengan kerjasama antara pemerintah, perusahaan media sosial, dan masyarakat sipil, kita dapat menjaga integritas pemilihan dan memastikan bahwa media sosial tetap menjadi alat yang produktif dalam proses demokrasi di Indonesia dan di seluruh dunia. Dengan demikian, peran media sosial dalam membentuk pilihan politik dapat diimbangi dengan upaya melindungi kesehatan demokrasi dan kepercayaan publik.
The post Media Sosial dan Tantangan Demokrasi dalam Kampanye Pemilu appeared first on JurnalPost.