Kampus Bukan Penjara Politik

Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Kampus Bukan Penjara Politik

Kampus Bukan Penjara Politik

Penulis : Jermin Yohanis Tiran Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular

JurnalPost.com – Belakangan ini, dunia kampus dihebohkan oleh pemberlakuan Undang-Undang Pilkada yang melarang aktivitas kampanye calon kepala daerah di lingkungan universitas. Aturan ini muncul dengan dalih menjaga netralitas institusi pendidikan tinggi dari pengaruh politik praktis. Pemerintah berargumen bahwa kampus seharusnya menjadi ruang steril dari hiruk-pikuk persaingan politik daerah, demi melindungi mahasiswa dari potensi konflik atau perpecahan.

Namun, kebijakan ini menuai kontroversi. Di satu sisi, beberapa pimpinan kampus menyambut positif, melihatnya sebagai cara menjaga fokus akademik. Di sisi lain, banyak kelompok mahasiswa dan aktivis kampus memandangnya sebagai pembatasan hak berpendapat dan berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Larangan ini tidak hadir dalam ruang hampa. Ia menjadi bagian dari diskusi yang lebih luas tentang kebebasan berekspresi di Indonesia. Beberapa pengamat bahkan mengaitkannya dengan tren pembatasan ruang demokrasi yang terjadi di berbagai sektor masyarakat.

Perdebatan tentang kebijakan ini menjadi krusial karena menyentuh inti dari peran kampus dalam demokrasi Indonesia. Kampus selalu menjadi tempat lahirnya ide-ide segar dan kritis terhadap perkembangan sosial-politik. Membatasi diskusi politik di dalamnya bisa berdampak signifikan pada kualitas partisipasi politik generasi muda dan, pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia itu sendiri.

Larangan kampanye di lingkungan kampus tidak hanya sebatas aturan administratif; ia membawa dampak yang jauh lebih dalam terhadap iklim akademik dan demokrasi di Indonesia. Pertama-tama, kebijakan ini berpotensi mengekang kebebasan akademik yang selama ini menjadi roh dari pendidikan tinggi. Kampus seharusnya menjadi arena terbuka bagi pertukaran ide dan pemikiran kritis, termasuk dalam hal politik praktis.

Dengan adanya larangan ini, mahasiswa kehilangan kesempatan berharga untuk berinteraksi langsung dengan para calon pemimpin daerah, mengajukan pertanyaan kritis, dan menilai visi serta kapabilitas mereka secara langsung. Hal ini bukan sekadar kehilangan informasi, tetapi juga pembatasan terhadap proses pembelajaran politik yang vital bagi generasi muda.

Lebih jauh lagi, larangan ini bisa dilihat sebagai bentuk infantilisasi terhadap mahasiswa. Seolah-olah mereka dianggap belum cukup dewasa atau bijak untuk terlibat dalam diskusi politik yang matang. Padahal, justru dengan keterlibatan dalam proses politik inilah mahasiswa bisa mengasah kemampuan berpikir kritis dan mengambil keputusan yang akan berguna bagi mereka sebagai warga negara.

Dari sudut pandang yang lebih luas, pembatasan ini berpotensi melemahkan fondasi demokrasi Indonesia. Kampus telah lama menjadi salah satu pilar penting dalam pergerakan demokrasi di negeri ini. Dengan membungkam suara politik di kampus, kita berisiko menciptakan generasi yang apatis terhadap proses demokrasi, padahal keterlibatan aktif generasi muda sangat diperlukan untuk menjaga vitalitas demokrasi kita.

Selain itu, larangan ini juga bisa dilihat sebagai bentuk paradoks. Di satu sisi, kita mendorong partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum, namun di sisi lain kita membatasi ruang diskusi politik di tempat yang seharusnya menjadi pusat pemikiran kritis. Ini menciptakan ketidakselarasan dalam upaya membangun budaya demokrasi yang sehat di Indonesia.

Kampus bukan sekadar tempat menimba ilmu; ia adalah miniatur masyarakat demokratis yang vital. Sejak lama, universitas telah menjadi tempat persemaian ide-ide progresif yang membentuk masa depan bangsa. Di sinilah pemikiran kritis dilatih, wacana diuji, dan generasi pemimpin masa depan ditempa.

Dalam konteks demokrasi, kampus berperan sebagai laboratorium politik yang tak tergantikan. Di ruang-ruang kelasnya, mahasiswa belajar untuk menganalisis kebijakan publik. Di forum-forum diskusinya, mereka berlatih berargumentasi dan mempertahankan pendapat. Dan di organisasi kemahasiswaannya, mereka mempraktikkan langsung prinsip-prinsip kepemimpinan dan tata kelola organisasi.

Kehadiran kampanye politik di lingkungan kampus sebenarnya adalah kesempatan emas. Ini bukan sekadar tentang mendengar janji-janji calon pemimpin, tapi lebih dari itu, ini adalah momen di mana teori yang dipelajari di kelas dapat dihadapkan langsung dengan realitas politik. Mahasiswa bisa mengajukan pertanyaan kritis, menguji konsistensi visi calon pemimpin, dan bahkan menawarkan solusi inovatif untuk masalah-masalah di daerah mereka.

Lebih jauh lagi, kampus yang terbuka terhadap diskusi politik adalah indikator masyarakat yang sehat. Ia mencerminkan kematangan demokrasi di mana perbedaan pendapat dihargai, bukan ditakuti. Ketika kampus menjadi ruang yang aman untuk berdebat tentang isu-isu politik, kita sedang mempersiapkan generasi yang siap menghadapi kompleksitas dunia nyata dengan pikiran terbuka dan kritis.

Membatasi kampanye politik di kampus sama dengan menghilangkan salah satu elemen penting dalam pendidikan kewarganegaraan. Padahal, justru di masa kini, ketika informasi begitu mudah dimanipulasi dan hoaks merajalela, kemampuan untuk terlibat langsung dalam diskusi politik yang sehat menjadi keterampilan yang sangat berharga.

Singkatnya, kampus sebagai ruang demokrasi bukan hanya tentang memberi ruang bagi politisi untuk berkampanye. Lebih dari itu, ini adalah tentang memelihara budaya demokrasi, melatih pemikiran kritis, dan mempersiapkan generasi muda untuk menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab dalam menentukan masa depan bangsa.

Larangan kampanye di lingkungan kampus tidak hanya membatasi ruang demokrasi, tetapi juga menciptakan hambatan serius bagi pendidikan politik mahasiswa. Pendidikan politik bukan sekadar teori yang dipelajari dari buku teks; ia adalah pengalaman hidup yang membutuhkan keterlibatan langsung dengan proses demokrasi.

Dengan adanya larangan ini, mahasiswa kehilangan kesempatan berharga untuk melihat dan mengalami secara langsung dinamika politik praktis. Mereka tidak lagi bisa berinteraksi langsung dengan para calon pemimpin, mengajukan pertanyaan kritis, atau menantang visi dan program yang ditawarkan. Padahal, interaksi semacam ini sangat penting dalam membentuk pemahaman mendalam tentang bagaimana politik bekerja di dunia nyata.

Lebih dari itu, larangan ini juga menghambat perkembangan keterampilan politik yang esensial. Kemampuan untuk menganalisis wacana politik, mengevaluasi janji kampanye, dan membedakan antara retorika dan substansi adalah keterampilan yang harus diasah melalui pengalaman langsung. Tanpa eksposur terhadap kampanye politik di kampus, mahasiswa kehilangan arena penting untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan ini.

Hambatan ini juga berpotensi menciptakan kesenjangan antara pendidikan formal dan realitas politik. Di satu sisi, mahasiswa mempelajari teori-teori politik dan pemerintahan di kelas. Namun di sisi lain, mereka tidak diberi kesempatan untuk melihat bagaimana teori-teori ini diterapkan atau dikompromikan dalam politik praktis. Kesenjangan ini bisa menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan teoretis yang baik, tetapi kurang memiliki pemahaman nuansa politik yang diperlukan untuk berpartisipasi efektif dalam demokrasi.

Larangan ini juga bisa menimbulkan efek jangka panjang yang merugikan. Mahasiswa yang tidak terbiasa dengan diskusi politik yang sehat dan kritis di kampus mungkin akan lebih mudah terjebak dalam politik identitas atau polarisasi ekstrem ketika mereka memasuki masyarakat luas. Mereka mungkin juga akan lebih rentan terhadap manipulasi informasi dan propaganda politik karena kurangnya pengalaman dalam mengevaluasi wacana politik secara kritis.

Pada akhirnya, hambatan pada pendidikan politik mahasiswa ini bukan hanya masalah individual, tetapi juga tantangan bagi kualitas demokrasi Indonesia secara keseluruhan. Tanpa generasi muda yang terdidik secara politik dan mampu berpikir kritis tentang isu-isu publik, masa depan demokrasi kita bisa terancam. Karena itu, penting untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang membatasi ruang pendidikan politik di kampus, demi memastikan lahirnya generasi pemimpin yang tangguh dan kritis untuk masa depan bangsa.

Melihat ke luar batas Indonesia, kita menemukan bahwa banyak negara demokratis justru mendorong, bukan membatasi, aktivitas politik di kampus. Praktik ini memberikan perspektif menarik tentang bagaimana demokrasi bisa tumbuh subur di lingkungan akademik.

Di Amerika Serikat, misalnya, kampus-kampus menjadi salah satu pusat aktivitas politik yang paling dinamis. Debat antar calon presiden sering diadakan di universitas-universitas terkemuka, memberikan mahasiswa kesempatan langsung untuk terlibat dalam proses demokrasi. Organisasi mahasiswa secara aktif mengundang politisi dan pembuat kebijakan untuk berbicara, menciptakan forum diskusi yang hidup dan kritis.

Di Eropa, tradisi aktivisme politik mahasiswa bahkan lebih mengakar. Negara-negara seperti Prancis dan Jerman memiliki sejarah panjang gerakan mahasiswa yang membentuk lanskap politik nasional. Kampus-kampus mereka bukan hanya membuka pintu untuk kampanye politik, tetapi juga menjadi tempat lahirnya ide-ide progresif yang sering kali mendorong perubahan sosial.

Bahkan di negara-negara Asia yang memiliki tradisi demokrasi yang lebih muda, seperti Korea Selatan dan Taiwan, kampus tetap menjadi arena penting untuk diskusi dan aktivisme politik. Di sana, keterlibatan mahasiswa dalam politik dilihat sebagai bagian integral dari proses pendewasaan demokrasi nasional.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa keterbukaan kampus terhadap aktivitas politik tidak mengancam kualitas akademik atau stabilitas sosial. Sebaliknya, ia memperkaya pengalaman pendidikan dan berkontribusi pada vitalitas demokrasi. Negara-negara ini memahami bahwa mahasiswa bukan sekadar penerima pasif pengetahuan, tetapi agen aktif dalam membentuk masa depan masyarakat mereka.

Melihat praktik di negara-negara ini, kita diajak untuk merefleksikan kembali kebijakan pembatasan aktivitas politik di kampus Indonesia. Mungkinkah, alih-alih membatasi, kita justru perlu mendorong lebih banyak keterlibatan politik konstruktif di lingkungan akademik? Bagaimana kita bisa mengadopsi praktik-praktik terbaik dari negara lain sambil tetap memperhatikan konteks lokal Indonesia?

Perbandingan ini bukan untuk mengatakan bahwa Indonesia harus meniru mentah-mentah praktik negara lain. Namun, ia memberi kita perspektif bahwa keterbukaan politik di kampus bisa menjadi kekuatan, bukan ancaman, bagi demokrasi yang sehat. Ini mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali apakah pembatasan yang ada saat ini benar-benar sejalan dengan cita- cita membangun demokrasi Indonesia yang kuat dan matang.

Menghadapi pembatasan kampanye politik di kampus, mahasiswa dan aktivis tidak tinggal diam. Mereka telah memulai serangkaian upaya hukum dan kampanye kesadaran untuk melawan apa yang mereka anggap sebagai pembatasan hak demokrasi.

Salah satu langkah signifikan adalah pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kelompok mahasiswa, didukung oleh akademisi dan ahli hukum, menantang konstitusionalitas pasal dalam UU Pilkada yang melarang kampanye di lingkungan kampus.

Mereka berargumen bahwa larangan tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan, yang dijamin oleh UUD 1945.

Perjuangan melawan larangan kampanye politik di kampus bukan sekadar tentang mempertahankan hak untuk berkampanye. Ini adalah pertarungan yang lebih besar dan lebih penting – pertarungan untuk menjaga nyala demokrasi di jantung pendidikan tinggi Indonesia.

Kampus, dengan segala dinamika dan energi mudanya, telah lama menjadi tempat di mana ide-ide baru bermunculan dan pemikiran kritis diasah. Membatasi ruang politik di dalamnya sama dengan memadamkan salah satu sumber kreativitas dan inovasi bangsa ini. Kita tidak boleh lupa bahwa dari ruang-ruang diskusi di kampuslah lahir banyak gagasan yang kemudian mengubah wajah bangsa kita.

Larangan ini, meski mungkin dimaksudkan baik, berpotensi menciptakan generasi yang apatis terhadap proses demokrasi. Di era di mana partisipasi politik kaum muda sangat diperlukan, kita justru membatasi kesempatan mereka untuk terlibat langsung dalam proses demokrasi yang paling mendasar.

Namun, respons kritis dan kreatif dari komunitas kampus terhadap pembatasan ini memberi kita harapan. Ia menunjukkan bahwa semangat demokrasi masih berkobar di kalangan generasi muda Indonesia. Upaya-upaya mereka, dari aksi hukum hingga kampanye kreatif, membuktikan bahwa mereka siap dan mampu menjadi penjaga demokrasi yang tangguh.

Ke depan, tantangan kita bukan hanya mencabut larangan ini, tetapi juga membangun budaya politik yang lebih sehat di kampus dan di luar kampus. Kita perlu menciptakan ruang di mana perbedaan pendapat dihargai, di mana debat substantif didorong, dan di mana pemikiran kritis diapresiasi.

Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik. Bukan untuk kembali ke status quo, tetapi untuk melangkah maju menuju visi kampus yang lebih terbuka, lebih kritis, dan lebih demokratis. Dengan demikian, kita tidak hanya menjaga kebebasan di kampus, tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi Indonesia secara keseluruhan.

Akhirnya, ingatlah bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang hari ini atau besok. Ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan Indonesia. Dengan mempertahankan dan

memperkuat ruang demokrasi di kampus, kita sedang menyiapkan generasi pemimpin masa depan yang kritis, berani, dan berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi.

Jadi, marilah kita bersama-sama terus menyuarakan dan memperjuangkan kebebasan berpolitik di kampus. Karena di sinilah, di ruang-ruang diskusi dan debat kampus, masa depan demokrasi Indonesia sedang dipertaruhkan dan dibentuk.

The post Kampus Bukan Penjara Politik appeared first on JurnalPost.

SOURCE

Recommended
Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul…