

Jakarta –
Data inflasi yang resmi dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Juli lalu menyalakan alarm peringatan yang amat nyaring. Angka inflasi pada periode Juni 2022 menembus 4,35 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang ‘hanya’ 3,55 persen secara tahunan.
Dipicu oleh lonjakan harga pangan bergejolak (volatile food), seperti komoditas cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan telur ayam ras, realisasi inflasi Juni itu tercatat yang tertinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Alhasil, batas atas inflasi yang disasar pemerintah 4 persen telah terlampaui.
Kemiripan cerita juga terjadi pada inflasi inti yang mencapai 2,63 persen. Angka itu menaik dibanding inflasi inti periode sebelumnya yang mencapai 2,58 persen. Padahal perubahan inflasi inti merefleksikan pergerakan faktor ekonomi fundamental. Jika tidak ada pergeseran yang ‘luar biasa’, dinamika inflasi inti akan sulit berubah.
Angka mana pun yang dirujuk, inflasi membawa efek buruk pada jumlah penduduk miskin di negeri ini. Kenaikan laju inflasi disebabkan oleh kenaikan harga pangan, sedangkan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (komoditas pangan itu tadi) menjadi indikator utama penentuan garis kemiskinan.
Alhasil, kenaikan laju inflasi akan menyundul batas garis kemiskinan. Potensi kenaikan laju inflasi kian terbuka lantaran beberapa harga komoditas strategis yang dibutuhkan seluruh lapisan masyarakat, seperti BBM, LPG, listrik, harga barang lain yang diatur pemerintah akan naik guna mengurangi beban fiskal.
Akibatnya, kenaikan inflasi yang lebih tinggi tidak terimbangi oleh kenaikan pengeluaran masyarakat. Rata-rata pengeluaran orang miskin naik sekitar 2-3 persen, garis kemiskinan naik lebih besar dari 3 persen. Jadi, kenaikan garis kemiskinan yang diakibatkan oleh inflasi, walaupun relatif rendah, belum mampu mengejarnya.
Dengan alur logika yang sama, jumlah penduduk miskin niscaya akan mengalami ‘inflasi’ bukan hanya mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi juga masyarakat yang hidup di sekitar garis kemiskinan. Artinya, penduduk yang tadinya ‘tidak miskin’ bisa turun kelas masuk ke golongan ‘miskin’.
Kondisi inilah yang berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin yang pada September tahun lalu sudah mencapai 26,5 juta orang atau setara dengan 9,71 persen penduduk. Sementara, untuk menekan angka kemiskinan hingga di bawah satu digit diperlukan waktu puluhan tahun.
Hal yang sama dijumpai pada perkara perangkap negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Indonesia lama berkutat di kelompok negara berpenghasilan menengah dan menghadapi kesulitan besar untuk segera mampu keluar menjadi negara berpenghasilan tinggi (high income country).
Dengan konfigurasi problematika di atas, alarm peringatan yang perlu disikapi sejak dini adalah bahwa pemerintah perlu memastikan agar harga pangan tidak naik lebih menggila lagi. Langkah yang diperlukan adalah memantau, operasi pasar, dan menjaga kecukupan pasokan komoditas pangan strategis.
Langkah komplementer berikutnya adalah menetralisasi efek kenaikan harga. Peningkatan komoditas pangan sejauh mungkin bisa dilokalisasi sehingga dampaknya tidak merembet pada harga barang/jasa lain. Ketersediaan pasokan barang substitusinya menjadi kunci dalam menjaga stabilitas harga.
Bantuan langsung tunai yang saat ini disalurkan oleh pemerintah –salah satunya berwujud sembilan bahan pokok– sudah tepat. Selain dapat memenuhi kebutuhan pokok, bantuan tersebut sedikit-banyak mampu menjaga daya beli masyarakat ketika terjadi kenaikan harga pangan.
Peningkatan daya beli masyarakat tentu bukan semata-mata hanya soal harga, tetapi juga kemampuan ekonomi yang ditopang dari pendapatan. Oleh karenanya, perluasan akses produksi di semua daerah tampaknya menjadi solusi permanen untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan daya beli masyarakat.
Sampai di titik ini, dapat disimak bahwa kemiskinan sangat sensitif terhadap setiap kenaikan harga pangan. Hal ini sejatinya menjadi konsekuensi logis dari tingginya bobot harga pangan yang diberikan BPS dalam perhitungan angka inflasi. Inflasi toh juga bisa naik dari kenaikan harga komoditas non-pangan.
Harga komoditas non-pangan pada umumnya lebih tinggi. Kenaikan harga dengan level harga yang tinggi niscaya menyodorkan angka persentase kenaikan yang lebih kecil. Bobot atas persentase kenaikan harga yang lebih kecil pada gilirannya akan menghasilkan sumbangan pada inflasi yang lebih kecil pula.
Alhasil, penyesuaian bobot terhadap harga pangan dan non-pangan perlu dilakukan. Penyesuaian bobot itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk ‘mengurangi’ kemiskinan. Bahkan sangat boleh jadi, angka kemiskinan setelah penyesuaian bobot akan terasa lebih ‘pahit’ daripada angka sebelumnya.
Harus diakui, data inflasi yang agak ‘bias’ membawa implikasi yang tidak ringan bagi kebijakan. Suku bunga acuan, misalnya, akan naik jika ada kenaikan inflasi inti yang permanen. Dalam kasus inflasi inti yang ‘bias’ ke bawah, kebijakan mengerek suku bunga acuan bisa keliru arah.
Inflasi juga bertautan dengan kebijakan upah minimum provinsi (UMP). Kenaikan UMP yang mengacu pada angka inflasi yang terlalu rendah bisa menenggelamkan daya beli buruh. Rendahnya kenaikan UMP di tengah inflasi yang sebenarnya sudah naik cukup tinggi akan memperlambat proses pemulihan ekonomi.
Pada akhirnya, bobot harga pangan yang proporsional menjamin hasil perhitungan inflasi, dan oleh karenanya tingkat kemiskinan yang lebih realistis. Kebijakan yang diramu pun akan efektif sesuai kondisi riil di lapangan. Bagaimanapun, kemiskinan merupakan tantangan terberat dalam pembangunan ekonomi semua negara di dunia ini.
Haryo Kuncoro Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta
(mmu/mmu)