Berita ini telah tayang pertama kali di JurnalPost dengan judul Asesmen yang Manusiawi: Refleksi Guru PAI yang Menginspirasi
JurnalPost.com – Di tengah banyaknya perubahan dalam dunia pendidikan, salah satu diantara banyaknya tantangan-tantagan dalam pendidikan yang masih sering terjadi menjadi tantangan bagi guru adalah tentang evaluasi pembelajaran. Tidak sedikit pula para guru dan pihak sekolah masih menganggawap bahwa evaluasi itu hanya sekedar tahap akhir dari proses belajar mengajar, yang penting ngasih nilai. Padahal, kalau dilakukan dengan benar, maka evaluasi bisa menjadi alat tolak ukur yang sangat penting untuk perkembangan setiap siswa dari hasil belajarnya, bukan hanya Cuma untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa tersebut. Beruntung, beberapa waktu lalu saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di salah satu Sekolah Menengah Pertama di Kota Bandung yang memeliki cara pandang yang berbeda mengenai praktik evaluasi pembelajaran yang lebih progresif. Pendekatan yang beliau terapkan dalam melaksanakan asesmen bukan hanya mencerminkan seorang yang profesional melainkan juga memperlihatkan refleksi, dan keberpihakan pada perkembangan peserta didik. Praktik asesmen yang di terapkan oleh beliau bisa menjadi model yang sangat menarik sehingga bisa dijadikan contoh oleh guru-guru lain di Indonesia.
Salah satu hal yang paling menarik dari praktik yang beliau terapkan adalah dalam pelaksanaan asesmennya melalui tiga tahap: di awal, ditengah dan di akhir. Pada umumnya, disetiap awal pertemuan setelah libur panjang guru-guru cenderung melakukan perkenalan atau menginformasikan materi yang akan diajarkan selama satu semester atau hanya menjelaskan kontrak belajar saja, namun berbeda dengan beliau justru di awal pertemuanya digunakan dengan asesmen awal. Asesmen awal dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mereka terhadap materi yang sudah diajarkan di kelas sebelumnya. Selain itu, juga digunakan untuk mengetahui latar belakang dan gaya belajar para siswa tersebut. Hal ini sangat penting karena dari sini guru bisa tahu bagaimana harus memulai pembelajaran, karena tidak semua siswa memulai dari titik yang sama. Dengan asesmen awal ini guru bisa menyesuaikan strategi pembelajaran, bahkan menyusun ulang rencana belajar agar bisa lebih adaptif terhadap kebutuhan kelas. Aesemen tengah dilakaukan saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Hal ini berfungsi sebagai “chekpoint” atau mengecek pemahaman siswa di tengah proses belajarnya. Guru dapat melihat apakah pembelajarannya berjalan sesuai dengan harapan. Jika ternyata di tengah pembelajaran terdapat materi yang masih sulit untuk dipahami mayoritsa siswa, nantinya guru bisa segera melakukan penyesuain tanpa menunggu di akhir semester. Asesmen tengah ini sangat penting untuk mencegah siswa tertinggal terlalu jauh dari materi-materi yang sudah disampaikan sebelumnya. Terakhir, asesmen akhir bukan hanya menjadi alat ukur pencapaian hasil belajar saja, melainkan menjadi bahan refleksi bagi guru maupun siswa. Disini guru memastikan bahwa asesmen tidak hanya menilai aspek kognitifnya, tetapi juga dari segi afektif dan psikomotiknya sesuai dengan prinsip holistik dalam pembelajaran PAI.
Setelah melaksanakan asesmen, biasanya siswa yang masih belum mencapai nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) diminta untuk remedial. Dalam pelaksanaan remedial, kebanyakan sekolah masih menggunakan konsep yang monoton, siswa yang masih belum mencapai KKM biasanya disuruh untuk mengerjakan ulang soal yang sama. Pendekatan ini seringkali tidak efektif karena hanya mengulang kegagalan tanpa memberikan pendekatan atau suasana yang baru. Berbeda dengan yang lain, guru PAI yang saya wawancarai ini memberikan alternatif remedial lain yang lebih memberdayakan dan membantu siswa lebih berkembang. Yaitu, siswa diminta untuk mempresentasikan materi yang diujikan di asesmen dalam bentuk PowerPoint dihadapan guru, sebagai bentuk tanggung jawab dan pemahaman mereka terhadap materi yang belum mereka kuasai, sehingga mereka tidak merasa sedang dihukum, malah diberikan ruang untuk belajar dengan cara yang lebih nyaman. Menurut saya dengan menggunakan pendekatan atau metode yang seperti ini sangat efektif bagi mereka. Selain itu juga banyak memberikan manfaat bagi mereka. Pertama, siswa jadi belajar menyampaikan ide secara lisan, yang mana dengan ini dapat meningkatkan kemampuan bepikir dan komunikasi siswa. Kedua, siswa didorong untuk memahami materi lebih mendalam, bukan hanya sekedar menghafal. Ketiga, guru bisa melihat sejauh mana siswa dapat memahami materi, serta mengevaluasi proses berpikir mereka. Dengan menggunakan model atau pendekatan remedial yang seperti ini, dapat menjadikan asesmen sebagai proses pembelajaran dan menunjukan bahwa asesmen bisa menjadi sarana untuk membangun serta menumbuhkan rasa kepercayaan diri siswa dan motivasi belajar bagi mereka, bukan hanya sebgai instrumen pengukuran inilai belaka.
Setelah selesei memberikan penjelasan mengenai praktik pelaksanaan asesmen dan pelaksaan remedialnya, kemudian saya mengajukan pertanyaan, ”kira-kira menurut bapak, apa sih yang perlu di kritisi mengenai panduan soal-soal yang disediakan oleh pemerintah?”. Menurut beliau, soal-soal tersebut sering kali terasa tidak sesuai dengan kondisi yang ada dilapangan. Bahkan beliau menyebutnya “soal tersebut seperti ditujukan kepada robot, bukan kepada siswa yang memiliki berbagai keterbatasan, kemampuan dan latar belakang yang berbeda-beda. Guru ini memberikan penekanan dalam praktiknuya, bahwa kita sebagai calon dan seorang pendidik tidak bisa hanya melihat siswa mampu menjawab soal atau tidak saja, tanpa memahami aoakah mereka itu benar-benar mengerti jawabannya atau hanya sekedar menebak saja. Maka dari itulah, dibutuhkannya asesmen yang lebih mendalam, konkrit, realitas dan memilki dampak langsung kepada para siswa dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau mengakui bahwa asesmen yang terdapat dalam buku memang bisa dijadikan sebagian acuan awal dalam pembuatan asesmen, tapi guru harus tetap melakukan penyesuaian sesuai dengan kondisi kelas masing-masing. Karena pada akhirnya, yang paling paham dengan kebutuhan dan kemampuan siswanya adalah guru-guru yang mendapingi siswa-siswanya dalam kesehariannya.
Diakhir wawancarnya bersama beliau, saya memberikan pertanyaan terakhir kepada beliau ”Apa saran bapak untuk pengembangan asesmen PAI dimasa yang akan datang agar bisa lebih relevan dan mendukung pembentukan karakter siswa?”
Dari keseluruhan hasil wawancara yang saya lakukan kemarin bersama beliau, memberikan satu kesimpulan dalam benak diri saya, yaitu: Asesmen yang baik adalah, asesmen yang berpihak kepada siswa. Maksudnya adalah, asesmen itu tidak hanya sekedar megukur seberapa banyak siswamengingat isi buku, bukan hanya sekedar bisa menjawab banyak pertanyannya, akan tetapi melihat sejauh mana mereka berembang sebagai individu. Asesmen yang baik itu asesmen yang melihat bagaimana latar belakang para siswanya, memberikan ruang kepada siswa untuk mencoba, memberikan mereka cara berfikir, dan membuka peluang kepada mereka untuk maju, bukan malah membuat mereka menjadi cemas akan evaluasi. Karena pada kenyatannya, ketika siswa mendengar kata asesmen cenderung cemas dan takut. Guru PAI yang saya temui ini benar-benar membuktikan bahwa asesmen bisa dirancang dan disusun dengan lebih manusisawi. Dimulai tadi diawal dengan memberikan ruang remedial yang kreatif, melakukan evaluasi secara bertahap sampai menyusun asesmen pun disesuaikan dengan gaya belajar dan kondisi para siswanya. Semua itu menunjukan bahwa asesmen itu bukan sebuah akhir dari pelajaran, akan tetapi bagian dari proses belajar dari siswanya.
Apa yang dilakukan oleh guru PAI ini seharusnya tidak berhenti sebagai inspirasi saja, tapi praktik baik ini harus juga diterapkan oleh semua guru-guru yang lain. Bahkan, bisa juga dijadikan sebagai bahan acuan dalam penyusunan kebijakan asesmen di sekolah, kalau perlu juga setingkat nasional. Sudah saatnya kita harus meninggalkan cara lama yang mengaggap asesmen hanya sebagai hasil akhir belajar, memberikan angka kepada siswa, tapi harus bisa mulai membangun sistem asesmen yang menghargai proses, memberikan dorongan kepada siswa untuk terus berkembang. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang siapa yang paling cepat memahami materi, siapa yang paling cepat mencapai nilai akhir, tetapi siapa yang mampu bertumbuh dan perproses dengan utuh dalam sepanjang perjalanan belajar mereka.
Oleh: Zidna Zidan
Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam
Universitas Pendidikan Indonesia
The post Asesmen yang Manusiawi: Refleksi Guru PAI yang Menginspirasi appeared first on JurnalPost.