Asal Mula dan Makna Simbolis Tradisi Megono Gunungan di Linggoasri Pekalongan

Asal Mula dan Makna Simbolis Tradisi Megono Gunungan di Linggoasri Pekalongan

Oleh: Naela Ishmatul Aeni
Prodi Pendidikan Agama Islam
UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

JurnalPost.com – Indonesia adalah negara dengan jumlah 17.508 pulau, 360 suku bangsa, 38 provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota. Hal ini membuat Indonesia kaya akan keberagaman budaya dan tradisi serta kuliner yang menggugah selera. Salah satunya yang ada di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Pekalongan. Terkenal sebagai kota batik yang kaya akan kearifan lokalnya. Di tengah arus modernisasi, kearifan lokal masyarakat Pekalongan mampu melestarikan budayanya, khususnya di ranah batik. Kearifan lokal Pekalongan juga tercermin dari adat dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satunya yaitu tradisi syawalan yang ada di Kabupaten Pekalongan ini sangat banyak, ada tradisi “lopis raksasa” dan juga tradisi “gunungan megono”.

Tradisi gunungan megono adalah salah satu bagian penting dari perayaan syawalan, setelah menjalankan puasa wajib selama 30 hari dan puasa sunnah selama enam hari. Kegiatan gunungan megono atau tradisi grebek gunungan megono ini awalnya hanya di laksanakan di masjid secara sederhana dari masing-masing desa dengan membuat selamatan. Kemudian sedikit demi sedikit mengalami peningkatan, gunungan megono ini di laksanakan oleh pemerintah daerah dengan warga setempat. Adanya tradisi gunungan megono ini dimulai dari kepemimpinan bupati 2001-2006, yaitu H. Amat Antono, M.S i.

Megono yang menjadi ikon atau ciri khas Kabupaten Pekalongan ini menjadi makanan keseharian masyarakat Pekalongan. Dibuat dari serat nangka yang kemudian diberi bumbu tumis hingga menghasilkan rasa yang gurih dan sedap. Dalam filosofinya megono memiliki arti hidup sederhana yang dikenal dengan qonaah atau hidup yang tidak berlebihan. Gunungan megono ini dibuat sebagai simbol kesuburan dan berlimpahan serta bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil bumi yang diberikan. Sementara itu, fungsi folklor dari tradisi ini adalah sebagai fungsi sosial, ekonomi, hiburan dan budaya. Grebek gunungan megono ini dipusatkan secara tetap di Linggoasri, Kecamatan Kajen. Hal itu karena Pemerintah Kabupaten Pekalongan ingin mempromosikan wisata tersebut kepada masyarakat.

Dengan adanya peningkatan, grebek gunungan megono ini akhirnya diikuti oleh semua kecamatan yang ada di Pekalongan dengan membuat gunungan dari hasil produk lokalnya seperti hasil pertanian, perikanan dan sebagainya. Contohnya warga Kecamatan Siwalan (Depok) membuat gunungan dari ikan dikarenakan mayoritas penduduknya adalah nelayan. Berbeda lagi dengan Kecamatan Lebakbarang yang mayoritas penduduknya petani, maka mereka membuat gunungan dari hasil pertaniannya seperti wortel, kembang kol, mentimun dan lain sebagainya.

Gunungan Megono dengan bentuk kerucut dan terdapat aneka buah, sayur dan daging ini mempunyai makna sebagai kehidupan yang lebih baik dan kehidupan ini terdiri dari tumbuhan, binatang dan manusia. Gunungan megono yang terbuat dari bahan dasar beras dan beras ketan yang dicampurkan agar melekat satu sama lain pada gunungan, megono yang ditata dengan bagus diatas rangka bambu (anca) yang sudah dihiasi oleh berbagai macam lauk pauk diartikan bahwa masyarakat Kabupaten Pekalongan rukun satu sama lain meskipun terdapat perbedaan kepercayaan.

Jadi bisa disimpulkan tradisi gunungan megono masyarakat Pekalongan memiliki fungsi bagi masyarakat Pekalongannya sendiri yaitu sebagai tali silaturahmi yang kuat, persatuan dan kerukunan, selain memiliki fungsi tradisi, juga memiliki nilai-nilai seperti nilai sosial, moral, ekonomi dan nilai budaya.

The post Asal Mula dan Makna Simbolis Tradisi Megono Gunungan di Linggoasri Pekalongan appeared first on JurnalPost.

SOURCE

Recommended
Oleh : Muhammad Irfan, Mahasiswa uin khas jember JurnalPost.com –…