Sah! – Merger dan akuisisi (M&A) merupakan strategi penting dalam dunia bisnis untuk memperluas pasar, meningkatkan efisiensi, dan menciptakan sinergi antar perusahaan.
Namun, di balik proses bisnis tersebut, terdapat sejumlah aspek hukum yang harus dipatuhi, termasuk pertanyaan penting: Apakah merger dan akuisisi harus mendapat persetujuan menteri?
1. Pengertian Merger dan Akuisisi
Sebelum membahas lebih jauh soal legalitas, penting untuk memahami perbedaan antara merger dan akuisisi:
- Merger (Penggabungan) adalah proses di mana dua atau lebih perusahaan bergabung menjadi satu entitas hukum baru atau salah satu perusahaan melebur ke dalam yang lain.
- Akuisisi (Pengambilalihan) adalah tindakan pengambilalihan kepemilikan suatu perusahaan oleh perusahaan lain, biasanya melalui pembelian saham mayoritas atau aset.
2. Ketentuan Hukum yang Berlaku
Proses M&A di Indonesia diatur oleh sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
- Peraturan teknis dari Kementerian Hukum dan HAM, OJK, dan KPPU
3. Apakah Harus Ada Persetujuan Menteri?
A. Merger
Ya, merger harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Hal ini diatur dalam Pasal 131 UUPT, yang menyebutkan bahwa penggabungan badan hukum harus disahkan oleh Menkumham agar sah secara hukum. Prosesnya melibatkan:
- Persetujuan dari RUPS masing-masing perusahaan
- Penyusunan akta penggabungan oleh notaris
- Pengajuan pengesahan ke Ditjen AHU Kemenkumham
- Pengumuman resmi di surat kabar dan sistem AHU Online
B. Akuisisi
Tidak semua bentuk akuisisi memerlukan persetujuan langsung dari Menteri, kecuali jika:
- Akuisisi menyebabkan perubahan anggaran dasar
- Terjadi perubahan pengendali perusahaan
- Terdapat perubahan susunan pemegang saham yang wajib dilaporkan
Jika ada perubahan dalam struktur perusahaan akibat akuisisi, maka perlu dilakukan pencatatan atau pengesahan perubahan di Kemenkumham.
Maka, meskipun bukan “persetujuan” dalam arti eksplisit seperti pada merger, keterlibatan Menkumham tetap ada dalam bentuk pendaftaran dan legalisasi dokumen perusahaan.
4. Kewajiban Pelaporan Lain
Selain Kemenkumham, perusahaan juga wajib memperhatikan otoritas lain seperti:
- KPPU: Untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran prinsip persaingan usaha sehat.
- OJK dan BEI: Jika salah satu pihak merupakan perusahaan terbuka.
- Instansi teknis lain tergantung pada sektor bisnis (perizinan, lingkungan, ketenagakerjaan, dll.)
Merger secara eksplisit harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM sebagai syarat sahnya penggabungan badan hukum.
Sedangkan pada akuisisi, persetujuan menteri tidak selalu dibutuhkan, tetapi tetap memerlukan pelaporan dan pencatatan apabila ada perubahan penting dalam struktur perusahaan.
Kepatuhan terhadap regulasi ini tidak hanya penting secara hukum, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan investor, kreditor, dan publik terhadap proses bisnis yang dilakukan secara profesional dan transparan.
Kunjungi laman sah.co.id dan instagram @sahcoid untuk informasi menarik lainnya.
Jika membutuhkan konsultasi legalitas bisa klik tombol WhatsApp di kanan bawah atau melalui 0851 7300 7406
The post Apakah Merger dan Akuisisi Harus Mendapat Persetujuan Menteri? appeared first on Sah! News.